Minggu, 03 Januari 2010

TUGAS EKONOMI KOPERASI

PILIHAN GANDA

1. B. Konsep Koperasi Barat
2. A. Pengembangan usaha koperasi dalam hal investasi, inovasi dan pengembangan SDM
3. C. Aliran Yardstick
4. C. Aliran Commonwealth
5. C. Menurut Mohammad Hatta
6. A. Aktivitas koperasi bertujuan ekonomi
7. A. UU No. 25 Tahun 1992 pasal 3
8. B. Sebagai wahana untuk mewujudkan kepemilikan kolektif sarana produksi dan untuk mencapai tujuan sosial politik
9. C. Kerjasama antar koperasi
10. A. UU No. 25 Tahun 1992 pasal 22
11. B. Mengangkat dan memberhentikan pengelola
12. C. Kegiatan koperasi bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan
13. D. Berita Negara Republik Indonesia
14. B. Pengelola
15. D. Jasa usaha anggota dan jasa usaha bukan anggota
16. D. UU No. 25 Tahun 1992 Pasal 46
17. D. 5 tahun
18. A. Modal sendiri dan modal pinjaman
19. B. Teknologi dan sumber daya yang digunakan
20. D. Benar Semua

ESSAY

1. Jenis-jenis Konsep Koperasi :

Konsep Koperasi Barat merupakan organisasi swasta, yang dibentuk secara sukarela oleh orang-orang yang mempunyai persamaan kepentingan, dengan maksud mengurusi kepentingan para anggotanya serta menciptakan keuntungan timbal balik bagi anggota koperasi maupun perusahaan koperasi. Adapun unsur-unsur positif dalam Konsep Koperasi Barat antara lain :

* Keinginan individu dapat dipuaskan dengan cara bekerjasama antarsesama anggota, dgn saling membantu dan saling menguntungkan

* Setiap individu dgn tujuan yang sama dapat berpartisipasi untuk mendapatkan keuntungan dan menanggung risiko bersama


* Hasil berupa surplus atau keuntungan didistribusikan kepada anggota sesuai dengan metode yang telah disepakati

* Keuntungan yang belum didistribusikan akan dimasukkan sebagai cadangan koperasi

Konsep Koperasi Sosialis adalah koperasi yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang memiliki tujuan merasionalkan produksi untuk menunjang perencanaan nasional. Dan menurut konsepnya, koperasi ini tidak berdiri sendiri tetapi merupakan subsistem dari sistem sosialisme untuk mencapai tujuan sistem sosialis-komunis.

Konsep Koperasi Negara Berkembang adalah koperasi yang sudah berkembang dengan ciri tersendiri, yaitu dominasi campur tangan pemerintah dalam pembinaan dan pengembangannya.

2. Diketahui laporan pertanggung jawaban pengurus Koperasi “Ahimsa” tahun 2005 adalah sebagai berikut :

Selain itu diperoleh data simpanan anggota dan volume usaha per anggota adalah sebagai berikut : (dalam 000)

Jawab:

Cadangan = 323.000

Simpanan Anggota (Sa) :

1. Ahimsa = 2.750
2. Annisa = 3.250
3. Rizky = 2.250

Total Modal Simpanan (TMS) = 125.800

Volume Usaha Anggota (Va) :

1. Ahimsa = 25.250
2. Annisa = 20.575
3. Rizky = 15.750

Total Volume Usaha Anggota (TVA) = 579.950

Jasa Usaha Anggota (JUA)

= 75% x 323.00

= 242.250

Jasa Modal Anggota (JMA)

= 25% x 323.000

= 80.750

a) SHU Usaha Ahimsa

= Va / TVA (JUA)

= 25.250 / 579.950 (242.250)

= 10.547,138

SHU Modal Ahimsa

= Sa / TMS (JMA)

= 2.750 / 125.800 (80.750)

= 1.765,203

SHU Ahimsa

= 10.547,138 + 1.765,203 (1000)

= 12.312.341

b) SHU Usaha Annisa

= Va / TVA (JUA)

= 20.575 / 579.950 (242.250)

= 8.594,351

SHU Modal Annisa

= Sa / TMS (JMA)

= 3.250 / 125.800 (80.750)

= 2.086,149

SHU Annisa

= 8.594,351 + 2.086,149 (1000)

= 10.680.500

c) SHU Usaha Rizky

= Va / TVA (JUA)

= 15.750/ 579.950 (242.250)

= 6.578,908

SHU Modal Rizky

= Sa / TMS (JMA)

= 2.250 / 125.800 (80.750)

= 1.444,257

SHU Rizky

= 6.578,908 + 1.444,257 (1000)

= 8.023.165

Selasa, 29 Desember 2009

Jelang Muktamar NU: Yang Muda Harus Tampil

Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri berpendapat kepemimpinan NU mendatang harus dipimpin oleh anak muda yang mampu mengelola organisasi dan memiliki pandangan ke depan.

“Saya mengatakan anak muda yang harus tampil, harus diingat, umur berapa KH Wahid Hasyim menjadi ketua NU, Kiai Mahfudz Siddik, likuran (umur duapuluhan), Kiai Idham Cholid, likuran, yang agak tua cuma kiai Dahlan, tiga puluh keatas,” katanya kepada NU Online di Jakarta baru-baru ini.

Pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibien Rembang ini menyatakan, selama ini ada pandangan yang tua tidak mau memberi kesempatan pada yang muda sehingga proses regenerasi tidak berjalan. Padahal semestinya harus sama,

“Anak muda harus tampil, jangan sampai yang muda juga menyodorkan yang tua, itu menutup kesempatan mereka sendiri,” tandasnya.

Meskipun dari segi usia masih muda, anak-anak muda saat ini boleh dikata lebih pintar-pintar, sayangnya mereka tidak diberi kesempatan seperti para pemimpin NU generasi 50-an.

“Persoalannya tidak diberi kesempatan saja, kalau dulu diberi kesempatan, Kiai Wahid umur berapa ketika tampil, kalau sekarang ini masih IPNU, ya kan, Kiai Mahfudz juga demikian,” imbuhnya.

Salah satu upaya untuk mendorong regenerasi dilakukan adalah pembatasan masa jabatan maksimal dua kali dalam kepemimpinan NU, yang mendorong anak muda untuk tampil.

Ditanya mengenai masih adanya cabang yang mencalonkan dirinya, Gus Mus hanya berkomentar, “Nga bosen-bosennya orang mencalonkan saya. Itu mulai dari muktamar Lirboyo tahun 1999, saya sudah mengatakan bahwa NU harus dipegang anak muda, diulangi di Donohudan tahun 2004, saya mengulangi lagi, ini zamannya anak muda. padahal saat di Donohudan, yang muda kan sudah agak tua, sekarang diulangi lagi,” tandasnya.

NU Latih Dai Siaga Bencana

Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia menuntut para dai atau juru dakwah mempersiapkan dirinya untuk mengambil peranan dalam memulihkan mental masyarakat paca bencana. Untuk itulah, dalam mengatasi bencana, NU tidak hanya melakukan aksi tanggap darurat dan pembagian sembako, tapi juga melakukan upaya mitigasi (pengurangan dampak bencana) seperti pelatihan dai siaga bencana.

Manajer CBDRMNU Sultonul Huda menyatakan, berbagai kegiatan yang digelar pasca bencana menunjukkan komitmen NU tentang siaga bencana antara lain dengan menyelenggarakan Pelatihan Training Of Facilitator (TOF) Da’i Siap Siaga Program Manajemen Unit (PMU) CBDRM Pengurus Besar Nahdlatul Ulama - UN OCHA, Jumat (18/12), di BPKB Rawang Pariaman.

Ketua PCNU Padang Pariaman Ramat Tuanku Sulaiman menyambut baik kegiatan pelatihan dai siaga bencana ini. “Masing-masing da’i yang menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat hendaklah yang menyejukkan. Sudah saatnya da’i tidak lagi melakukan dakwah dengan pendekatan yang menyalahkan masyarakat dengan terjadinya bencana,” urainya.

Pembukaan dihadiri Khatib PCNU Padangpariaman Ali Nurdin, Wakil Ketua Abdul Hadi, Ketua PC IPNU Lukman Hakim, Ketua PC PMII Pariaman. Pelatihan diikuti 15 orang peserta dari tiga nagari di Padangpariaman. Kegiatan berlangsung hingga Ahad

Dari Pabrik Gula Cukir Melawan Neolib

Bukan kebetulan bila KH Hasyim Asy'ari –Pendiri NU--mendirikan sebuah pesantren yang hanya berjarak 200 m sebelah barat dari pabrik gula Cukir pada tahun 1899. Kehidupan buruh pabrik yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan akibat penghisapan kapitalisme membuat Hasyim Asy'arie tergerak mendirikan sebuah pesantren demi mengangkat harkat dan martabat mereka.

Para buruh pabrik gula Cukir yang terletak di dukuh Tebuireng hanya mendapatkan upah pas-pasan yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, para buruh terpaksa berhutang kepada lintah darat ataupun majikan mereka. Hidup para buruh bagaikan "gali lubang tutup lubang". Himpitan ekonomi para buruh menyebabkan mereka berusaha mencari pelarian. Mabuk minuman keras, judi, madat dan main perempuan adalah pelarian para buruh dari kesulitan ekonomi mereka.

Sistem kapitalisme dan liberalisme yang melandasi berdirinya pabrik gula Cukir dan pabrik-pabrik gula lain di seantero Jawa secara sistematis telah melakukan proses pemiskinan yang dahsyat terhadap rakyat Indonesia. Sejak diterapkannya Cultuur Stelsel alias Tanam Paksa sejak 1830, kolonial Belanda mulai merampas tanah-tanah pertanian milik rakyat untuk ditanami komoditas perkebunan yang kalu di pasaran Eropa. Kondisi tersebut makin bertambah parah ketika Tanam Paksa digantikan Politik Liberal tahun 1870 yang membuka pintu bagi investor asing di sektor perkebunan.

Indonesia pada masa itu adalah pengekspor gula nomor dua terbesar di dunia setelah Kuba. Perkebunan tebu pun marak menggantikan tanaman makanan rakyat seperti padi dan palawija. Pabrik-pabrik gula berdiri di mana-mana. Jaringan rel kereta api pertama dibangun menghubungkan perkebunan tebu dan pabrik gula di selatan Jawa dengan Semarang, kota pelabuhan di pantai utara Jawa. Petani Indonesia yang kehilangan sawah terpaksa bekerja di perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula milik pengusaha Swasta Eropa. Salah satunya adalah pabrik gula Cukir.

Dengan mendirikan sebuah pesantren, KH Hasyim Asy'ari mencoba berdakwah kepada kaum buruh di lingkungan pabrik Cukir agar mau meninggalkan kehidupan maksiat mereka dan mencari solusi atas himpitan ekonomi yang menerpa mereka. Pesantren yang didirikan KH. Hasyim Asy'ari pun tidak hanya mengajarkan agama semata-mata, namun mengajak para santrinya yang sebagian besar adalah buruh pabrik gula Cukir untuk bertani dan berwirausaha. KH Hasyim Asy'ari tidak hanya berfungsi sebagai kyai, tapi juga sebagai motivator dan manajer yang mendorong dan mengendalikan sejumlah usaha ekonomi di pesantren tersebut. Setiap pagi usai shalat dhuha dan mengajar kitab, KH Hasyim mengumpulkan sebagian santrinya untuk diberikan berbagai macam tugas, seperti merawat sawah, ternak ataupun bangunan pondok. KH Hasyim juga seorang pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya KH Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah, ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga, pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, KH Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.


Nahdlatut Tujjar

KH Hasyim Asy'ari bersama KH Wahab Chasbullah dan sejumlah kyai dan saudagar santri lainnya lalu mendirikan Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918, sebuah organisasi yang menghimpun kyai dan saudagar Muslim untuk mendobrak ketimpangan ekonomi masyarakat akibat sistem ekonomi liberalisme yang diterapkan kolonialisme Belanda.

Berkaitan itu, KH Hasyim Asy’ari menguraikan tentang problem-problem keumatan yang terkait erat dengan soal ekonomi. KH Hasyim Asy’ari menuntut kepedulian para ulama, karena merekalah pemimpin dan teladan umat. Apabila basis-basis dan simpul-simpul kemandirian ekonomi tidak dibangun, selain para ulama telah berdosa, bangsa ini juga akan terus terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan dan kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh kolonial.

Yang tak kalah menarik, sejak awal pendiriannya, Nahdlatut Tujjar ternyata telah mengenal dan menerapkan manajemen organisasi modern. Pembagian struktur organisasi dan pembagian kerja, di mana ada para pendiri, kepala perusahaan, direktur, sekretaris, marketing dan pengawas keliling sudah dipraktikkan di Nahdlatut Tujjar. KH. Hasyim Asy’ari dipilih sebagai kepala perusahaan dan mufti (semacam komisaris), KH. Wahab Hasbullah sebagai direktur perusahaan, H. Bisri sebagai sekretaris perusahaan, dan Syafi’i sebagai marketing sekaligus pengendali perusahaan.

Ada profit share. Pembagian keuntungan 50% menjadi kesepakatan bersama, tetapi masih boleh dikembalikan untuk memperkuat modal. Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya untuk membangun basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakan pasar sendiri di daerah Surabaya, Kediri dan Jombang. Dengan Nahdlatut Tujjar, KH Hasyim Asy'ari bersama sejumlah kyai lain mendirikan Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Islam terbesar yang berandil besar dalam perjuangannya mendirikan Republik Indonesia.

Apakah Tuhan akan kembali mengirim reinkarnasi KH Hasyim Asy’ari untuk melawan neo-liberalisme dan memperbaharui Republik? Tuhan pun telah menjawab, "Sesungguhnya Aku tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri merubah nasibnya". Jadi, tunggu apalagi?

Mengapa Noordin M Top Nge-Bom di Indonesia?

Itulah pertanyaan sebagian orang Indonesia di tengah memburuknya hubungan Indonesia-Malaysia akibat aksi klaim tari pendet oleh Malaysia. Sebagian orang Indonesia punya pendapat ekstrem, bahwa Noordin M Top adalah agen Malaysia yang sengaja disusupkan untuk membuat kekacauan di Indonesia.

Yaitu dengan melakukan serangkaian aksi pengeboman terutama di jantung-jantung dan fasilitas pariwisata Indonesia yang bertujuan menghancurkan citra Indonesia yang aman dan damai.

Tentu saja pendapat ekstrem ini dibantah tidak hanya oleh pemerintah Malaysia, tapi oleh kebanyakan orang Indonesia sendiri. Adalah sangat naif dan berisiko bila pemerintah Malaysia sengaja menyusupkan Noordin untuk membuat kekacauan di Indonesia. Lantas mengapa Noordin M. Top melakukan aksi pengeboman di Indonesia, bukan di Malaysia?

Jawabannya adalah, Pertama; Pemerintah Malaysia sedari awal bertindak tegas. Pada bulan Februari 2002, pemerintah Malaysia menutup Pesantren Lukmanul Hakiem yang didirikan Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar dan diduga menjadi markas Jamaah Islamiyah (JI) Asia Tenggara. Noordin pernah mengajar di pesantren ini. Pada bulan April 2002, pemerintah Malaysia menangkap sejumlah aktivis Kumpulan Militan Malaysia (KMM), sebuah organisasi yang diduga menjadi payung bagi para aktivis Islam alumni jihad Afghanistan.

Penangkapan para aktivis KMM tersebut dapat cepat dilakukan Malaysia karena pemerintah Malaysia menggunakan instrumen ISA (Internal Security Act) dimana pemerintah Malaysia dapat menangkap seseorang yang dituduh membahayakan keamanan negara tanpa proses hukum acara pidana. Sejak tahun 1960, ISA digunakan pemerintah Malaysia untuk menangkap sejumlah aktivis oposisi seperti Anwar Ibrahim dan sejak 2001 digunakan untuk menangkap sejumlah aktivis muslim terkait JI tanpa proses pengadilan. Sejak ditutupnya Pesantren Lukmanul Hakiem dan ditangkapnya sejumlah aktivis KMM, maka Noordin M Top dan Dr. Azahari melarikan diri ke Indonesia.

Kedua; Bumi Indonesia ternyata cukup subur bagi berkembangnya paham radikalisme Islam, sehingga Noordin dan Azahari segera menemukan “safe house” di sejumlah tempat di Indonesia dan bahkan bersama trio Imam Samudera, Amrozi dan Mukhlas berhasil meledakkan Bom di Bali, Oktober 2002. Sesudah Bom Bali I meletus, barulah pemerintah Indonesia bergerak untuk menangkap Ustadz Abu Bakar Baasyir (ABB) pengasuh Pesantren Ngruki Solo dengan tuduhan terkait JI dan rencana membunuh presiden Megawati dimana tuduhan tersebut tidak terbukti di pengadilan. ABB “hanya” divonis 2,6 tahun penjara sejak Maret 2005 dan bebas Juni 2006.

Sejumlah ulama dan tokoh Islam saat itu serentak membela ABB termasuk Syafii Maarif ketua umum PP Muhammadiyah yang mengatakan bahwa penangkapan ABB adalah “order” dari Amerika. Hanya Gus Dur yang tegas mengatakan bahwa penangkapan ABB tidak terkait teori konspirasi Amerika dan meminta polisi membuktikan tuduhan keterlibatan ABB dengan JI. Setelah merancang Bom Bali I, Noordin dan Azahari beserta jaringan terornya masih sempat meledakkan serangkaian bom di Hotel JW Marriot (Agustus 2003), Kedubes Australia (September 2004), Bom Bali II (Oktober 2005) dan Bom Marriot-Ritz Carlton (Juli 2009) serta rangkaian pemboman di daerah lainnya. Walaupun Dr. Azahari dan Noordin sudah tewas (November 2005 dan September 2009) oleh operasi kontrateroris Densus 88 Polisi, namun banyak pengamat meyakini bahwa sejumlah tersangka teroris yang menjadi DPO polisi seperti Syaifuddin Jaelani dan Syahrir akan mampu membangun kembali sel jaringan terornya mengingat cukup banyak kaum muslim di tanah air yang se-ide dengan mereka.

Suburnya bumi Indonesia bagi paham radikalisme Islam yang pada akhirnya banyak berujung pada aksi teror dan kekerasan disebabkan tumbuhnya atmosfer kebebasan berpendapat dan berorganisasi pasca reformasi 1998. Beberapa ideologi keagamaan radikal seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Salafi berkembang pesat di Indonesia dan bebas memprogandakan ideologinya sehingga mampu menarik simpati masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah perkotaan yang minim pengetahuan agama tapi semangat ke-Islamannya sedang tumbuh. Padahal, ideologi-ideologi tersebut justru dilarang di negara kelahirannya. Ikhwanul Muslimin sudah lama dilarang eksistensinya sejak tahun 1960-an karena terlibat rangkaian kekerasan dan teror akibat persaingan politknya dengan kelompok nasionalis sekuler di Mesir. Sementara Hizbut Tahrir yang mencita-citakan berdirinya khilafah islamiyah atau imperium Islam se-dunia tidak bisa bergerak bebas di Yordania, negara kelahirannya.

Tapi di Indonesia, Ikhwanul Muslimin –yang direpresentasikan oleh PKS- bisa bergerak bebas dan berkembang pesat dan bahkan mampu meraih suara 8% pada Pemilu 2009. Bahkan Hizbut Tahrir dapat dengan bebas menyelenggarakan Konferensi Khilafah di Gelora Bung Karno pada Agustus 2007 yang dihadiri lebih dari 100.000 massa simpatisannya. Sehingga, wajarlah bila bumi Indonesia sangat subur bagi aksi terorisme yang dilandasi paham radikalisme keagamaan mengingat iklim kebebasan politik sangat dijamin oleh pemerintah pasca tumbangnya Orde Baru. Di era Orde Baru, kita sulit membayangkan ideologi semacam Ikhwan dan HT dapat berkembang bebas.

Walhasil, iklim kebebasan di Indonesia –yang tidak ada di Malaysia- menyebabkan Indonesia menjadi tanah subur bagi berkembangnya paham radikalisme keagamaan yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya aksi-aksi terorisme. Mungkin, itulah alasan Noordin M. Top nge-bom di Indonesia seperti kata Bang Napi di sebuah stasiun TV, “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan”. Dan, kesempatan –untuk berbuat teror- terbuka luas di Indonesia. Wallahu a’lam.

Mudik; Perspektif Wong Cilik

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhaiNya”(Q.S Al Fajr:27-28). Ketika memulai menulis tentang mudik, bayangan yang ada dalam benak saya bukan saja tentang sangat mahalnya tiket transportasi ke kampung halaman, jumlah THR yang mungkin akan diterima tahun ini, atau bayangan senyum bahagia Ibu Bapak melihat anaknya pulang dengan sehat dan selamat.

Lebih dari itu, saya teringat perbincangan elit tentang plot baru tatanan masyarakat global di “The Fairmont” San Fransisco yang diinisiasi oleh Michael Gorbachev pada September 1995. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh George Bush, Margareth Tatcher, Ted Turner (CNN), John Gage (Sun Microsistem) dan ratusan pemain kelas satu dunia dari berbagai latar belakang ini, mereka berkesimpulan bahwa struktur masyarakat masa depan yang akan terbangun adalah struktur 20:80 (Hans Peter Martin & Harald Schumann ; 1996).

Dalam perspektif struktur masyarakat 20:80 ini, kebutuhan seluruh dunia cukup hanya dengan melibatkan 20 % masyarakat saja. Atau dalam bahasa ekstrim, mereka hendak mengatakan bahwa dunia ini hanya untuk mereka yang masuk kategori 20 saja. Lalu bagaimana nasib masyarakat yang termasuk golongan 80 % itu?

Gagasan yang akhirnya diterima oleh peserta diskusi disampaikan oleh Haudegen Zbigniew Brzezinski, mantan penasehat keamanan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter. Brzezinski menyampaikan konsep tittytainment sebagai mekanisme untuk mengontrol perasaan frustasi masyarakat golongan 80 % sehingga tidak terjadi ledakan sosial, dengan menjamin tercukupinya kebutuhan dasar dalam hal sandang pangan dan hiburan yang murah meriah.

Fenomena itu, sekarang sudah terjadi. Faktanya, negara ini, dunia ini, hanya ditentukan oleh sebagian kecil golongan masyarakat elit saja. Sebagai argumentasi, di sektor finansial misalnya, peredaran modal dan kapital lebih besar terjadi di level taipan-konglomerat yang jumlahnya hanya puluhan jiwa, daripada peredaran modal dan kapital di level masyarakat kelas bawah yang jumlahnya puluhan juta jiwa. Ironis.

Dalam konteks ini, mudik merupakan perwujudan dari tittytainment, sebagai mekanisme bagi masyarakat kecil untuk sejenak terlepas dari tekanan dan menghibur diri dari kerasnya ritus kehidupan sehari-hari di Ibukota yang tidak mengenal belas kasihan sebagai representasi dari struktur sosial yang tidak berpihak kepada wong cilik.

Sayangnya, masyarakat kecil harus mengeluarkan pengorbanan ekstra dalam upaya memperoleh tittytainment tersebut, terutama dalam hal membengkaknya biaya transportasi.

Tidak seharusnya tarif transportasi pada waktu mudik ditentukan dengan pendekatan supply & demand semata, karena dalam titik tertentu, hal ini dapat membuat mekanisme tittytaintment tidak lagi efektif untuk menjaga harmoni sosial di masyarakat. Dalam konsep tittytaintment yang dikemukakan oleh Brezinzki golongan masyarakat kelas 20 yang seharusnya memberikannya secara cuma-cuma kepada golongan masyarakat kelas 80.

Atas dasar itu, saya merasa muak dengan prasangka negatif bahwa mudik dilakukan untuk pamer keberhasilan dan untuk menunjukkan status sosial kepada orang di kampung. Apanya yang layak dipamerkan dari masyarakat kelas 80 ?
Tetapi jika prasangka itu benar, saya lebih kasihan lagi kepada pemudik yang melakukannya, dengan pertanyaan besar, sebenarnya apa yang hendak dicari? Kepalsuan atau kepura-puraan untuk lebih menghibur diri?

Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang mudik yang beruntung. Ja’alanaLlahu Waiyyakum Minal ’Aidin Wal Faizin.

Jargon Indah Untuk Agenda Busuk


Judul di atas adalah terjemah bebas dari statemen Khalifah Ali bin Abu Thalib ketika menghadapi demonstran yang menuntut penerapan hukum Allah “La hukma illa lillah” (Tidak ada hukum kecuali hukum Allah) dan menolak putusan hukum Ali karena dinilai sebagai produk manusia. Demonstrasi tuntutan penerapan hukum Allah atau Islamic Law Enforcement (Tathbîqus syari’ah) dijawab Ali dengan pernyataan “Kalimatu haqqin yurâdu bihâ bâthilun” (kata indah tetapi dengan tujuan yang sesat).

Warning Sahabat Ali yang ditulis oleh Imam Muslim dalam Kitab Sahihnya tersebut juga bisa ditemukan dalam khazanah keilmuan Islam. Salah satunya adalah ensiklopedi hadis berjudul “Kanzul ummâl fi sunanil aqwâl wal af’âl” karya Alaudin al-Hindy dengan penambahan statemen bahwa para demonstran yang mengusung jargon indah tersebut adalah para “pengkhianat besar” (al-Khayyânun).

Statemen pemuda yang pertama kali masuk Islam ini, merupakan sikap membangun kewaspadaan agar umat Islam tidak terjebak dengan slogan-slogan yang nampaknya “indah” namun dijadikan alat untuk menebarkan tindak kekerasan. Ali memperingatkan: jangan melakukan kejahatan kemanusiaan dengan bungkus “Atas Nama Tuhan”. Akhirnya sejarah juga mencatat bahwa Ali terbunuh oleh para demonstran dengan mengatasnamakan “penerapan Ayat Tuhan”.

Fenomena merebaknya jargon “Isy Kariman au Mut Syahidan” (Hidup mulia atau mati syahid) juga perlu dicermati secara kritis. Penulis selama 28 tahun belajar studi Al-Qur’an dan Al-Hadis sejak di pesantren sampai sekarang mengampu mata kuliah tersebut, tidak pernah menjumpai redaksi tersebut dalam kitab-kitab standar keilmuan. Secara akademis statemen ini tidak perlu dianalisa, ditafsirkan apalagi diuji kesahihannya, karena statemen ini bukanlah teks suci keagamaan, bukan perkataan Sahabat Nabi dan hanya muncul dalam selebaran-selebaran pendorong mati syahid untuk Dying for Win. Doktrin tersebut juga tidak jelas siapa yang pertama kali mengucapkannya, dan tidaklah salah kalau penulis menyimpulkan bahwa slogan tersebut sangat tidak akademis.

Memang ada statemen klasik yang mirip dengan jargon tersebut, yaitu “Isy Kariman wa Mut Kariman” (hiduplah sebagai orang yang mulia dan matilah juga sebagai orang yang mulia) yang diucapkan Asma’ binti Abu Bakar kepada anaknya, Abdullah bin Zubair. Secara epistemologis, statemen ini dapat didiskusikan dan dianalisa latar belakang historis dan sosiologisnya. Pesan Seorang Ibu tersebut bisa dibaca dalam karya-karya sejarah klasik seperti Tarikh Dimisyqa karya Ibnu Asakir dan juga Tahzîb al-Asma’ wa al-Lughat karya Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi yang penulis pernah menziarahi makamnya di ‘Nawa”, selatan kota Damaskus Syria.

Pesan Asma’ ini sangat berbeda dengan jargon “Isy Kariman au Mut Syahidan” baik redaksional maupun setting sejarahnya. Pesan Asma’ mengarah kepada tujuan hidup mulia dan mati juga mulia tanpa adanya opsi, sementara jargon penambah energi militansi tersebut menggiring orang untuk memilih satu di antara dua opsi yaitu: hidup mulia atau mati syahid dengan pemakaian kata sambung “au” yang menurut gramatikal Arab untuk “takhyîr” (pilihan).

Struggle of Power Abdullah bin Zubair versus Yazid bin Muawiyah inilah yang mendorong Asma’ mengeluarkan pesan penyemangat tersebut kepada anaknya dengan penambahan : Lâ yal’abanna bika shibyânu Bani Umayyah” (Jangan sekali-kali anak-anak Bani Umayyah ini mempermainkan dirimu).

Pada sisi lain, ada Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad: “ilbas jadidan wa Isy Hamidan wa Mut Syahidan” (pakailah baju yang baru, hiduplah yang terpuji dan matilah sebagai syahid). Historisitasnya, Nabi bertemu Ibnu Umar dan bertanya: Bajumu baru atau dilaundry? Ibnu Umar menjawab: Bukan baju baru tapi baju lama yang dilaundry. Akhirnya Nabi mengeluarkan sabdanya tersebut yang menurut Imam As-Sindy merupakan doa untuk Ibnu Umar agar mendapatkan rizki yang banyak, bisa hidup bahagia dan meninggal sebagai syahid.

Jika pernyataan Nabi ini difahami secara kaku (rigid) dan parsial serta dilepaskan dari historisitas isi/matan hadis (tawârikhul mutun), maka para penebar teror akan menjadikan sabda ini sebagai justifikasi tindak kekerasan.

Ketika penulis di Mesir untuk berguru kepada Prof. Hassan Hanafi dan Gamal al-Banna pada tahun 2005, bertepatan dengan pemilu legislatif negeri pyramid tersebut, penulis menyaksikan baliho-baliho besar terpampang di sepanjang jalan kota Kairo. Political Languages, bahasa-bahasa politik yang tertulis di baliho tersebut sangat beragam dan secara khusus penulis memperhatikan banyaknya baliho yang mengatasnamakan agama untuk tujuan politik. Jargon seperti “Al-Islâm huwa al-hall” (Islam adalah solusi), Al-Jihâd Sabilunâ (jihad adalah jalan kami), li Thatbiqis Syari’ah (untuk menegakkan syariah) menjadi menu marketing kekuasaan. Yang lebih vulgar adalah baliho yang mencantumkan lambang Al-Ikhwan al-Muslimun yaitu Gambar Al-Qur’an dengan dua bilah pedang di bawahnya. Sejarah juga mencatat bahwa karya-karya kekerasan di Mesir sering melibatkan para pengusung jargon tersebut, mulai IM (al-Ikhwan al-Muslimun), al-Jama’ah al-Islamiyyah serta Jama’ah al-Jihad.

Slogan kekerasan dengan bungkus agama seperti Al-Islâm huwa al-Qur’an wa as-Saif (Islam adalah al-Qur’an dan pedang), Al-Islâm huwa as-shalât wa al-qitâl(Islam adalah Shalat dan Perang) bisa ditemukan dalam dokumen-dokumen yang menjadi pegangan para teroris. Salah satunya adalah dokumen “highly secret” yang bertitelkan “Durûs Askariyyah fî Jihâd at-Thawâghîth” (Training Militer untuk Memerangi Penguasa thaghut/ tidak memakai hukum Tuhan) setebal 180 halaman dan berisi 18 training pokok untuk para operator Al-Qa’idah.

Cover dokumen tersebut bergambar bola dunia dengan sebilah pedang panjang yang menusuk peta dunia dengan ujungnya berlumuran darah. Di pojok kanan juga tertulis “Silsilah Askariyyah; I’lânul Jihâd ala Thawâghîth al-Bilâd” (Seri Militer: Deklarasi Perang Terhadap Negara-negara thaghut).

Dokumen ini diawali dengan statemen ideologi kekerasan yang merupakan satu-satunya cara untuk menggapai tujuan politik Al-Qa’idah yaitu berdirinya “Islamic Government” di muka bumi. Statemen tsb berbunyi “Pemerintahan Islam tidak pernah dan tidak akan pernah tegak berdiri dengan cara diplomasi damai. Akan tetapi harus dengan pena dan senjata, dengan kata dan peluru. Kami tidak butuh dialog model Plato, Aristoteles dan Socrates. Kami hanya membutuhkan diplomasi mesin perang dan dialog bom”.

Negara Thaghut dalam persepsi Al-Qa’idah dan juga semua jejaring kekerasan termasuk Al-Jama’ah Al-Islamiyyah, adalah semua negara yang tidak memperjuangkan Islamic State dan Khilafah Global meski penduduknya beragama Islam.

Berdasarkan main idea ini, sehari setelah penemuan bahan peledak di Bekasi dan ditemukannya dokumen rencana pembunuhan Presiden SBY, penulis diwawancarai ‘live” oleh stasiun SBS (Special Broadcasting Service) Sydney Australia tentang rencana teroris dalam pembunuhan Presiden SBY. Penulis menjawab, bahwa hal itu sangat dimungkinkan karena SBY adalah seorang Presiden yang selalu membawa Negara Indonesia dalam koridor PANCASILA, dan di mata jejaring penebar teror, Pancasila dan juga sistem demokrasi adalah sesuatu yang najis. Penguasa pendukung Pancasila dan Demokrasi adalah penguasa thaghut yang menurut dokumen Al-Qa’idah tersebut harus diperangi.

Kampanye “Spreading peace for all” dan “jihad untuk kemanusiaan” harus dijadikan prioritas pemerintah NKRI bersama para ulama dan kaum intelektual untuk “Ta’kidul Islâm ka Rahmatin wa Salâmin Lil âlamin fi mujtama’in ta’addudiyyin” (Mempertegas Islam sebagai rahmat dan motor perdamaian bagi seluruh alam dalam bingkai masyarakat yang plural).

Sebuah baliho besar di hotel Hilton, depan Masjidil haram Makkah al-Mukarramah yang penulis saksikan pada penghujung Ramadlan 2004, menjadi inspirasi besar untuk tulisan ini. Baliho tersebut bergambarkan Al-Qur’an dan kitab Hadis yang di bawahnya tertulis pesan indah untuk kemanusiaan “Lâ, lil-Irhâb” (Al-Qur’an dan As-Sunnah bukan untuk menebar teror). Karena realitasnya, terorisme adalah threat of religion (musuh agama) dan sekaligus threat to religion (mengancam agama).