Selasa, 29 Desember 2009

Jelang Muktamar NU: Yang Muda Harus Tampil

Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri berpendapat kepemimpinan NU mendatang harus dipimpin oleh anak muda yang mampu mengelola organisasi dan memiliki pandangan ke depan.

“Saya mengatakan anak muda yang harus tampil, harus diingat, umur berapa KH Wahid Hasyim menjadi ketua NU, Kiai Mahfudz Siddik, likuran (umur duapuluhan), Kiai Idham Cholid, likuran, yang agak tua cuma kiai Dahlan, tiga puluh keatas,” katanya kepada NU Online di Jakarta baru-baru ini.

Pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibien Rembang ini menyatakan, selama ini ada pandangan yang tua tidak mau memberi kesempatan pada yang muda sehingga proses regenerasi tidak berjalan. Padahal semestinya harus sama,

“Anak muda harus tampil, jangan sampai yang muda juga menyodorkan yang tua, itu menutup kesempatan mereka sendiri,” tandasnya.

Meskipun dari segi usia masih muda, anak-anak muda saat ini boleh dikata lebih pintar-pintar, sayangnya mereka tidak diberi kesempatan seperti para pemimpin NU generasi 50-an.

“Persoalannya tidak diberi kesempatan saja, kalau dulu diberi kesempatan, Kiai Wahid umur berapa ketika tampil, kalau sekarang ini masih IPNU, ya kan, Kiai Mahfudz juga demikian,” imbuhnya.

Salah satu upaya untuk mendorong regenerasi dilakukan adalah pembatasan masa jabatan maksimal dua kali dalam kepemimpinan NU, yang mendorong anak muda untuk tampil.

Ditanya mengenai masih adanya cabang yang mencalonkan dirinya, Gus Mus hanya berkomentar, “Nga bosen-bosennya orang mencalonkan saya. Itu mulai dari muktamar Lirboyo tahun 1999, saya sudah mengatakan bahwa NU harus dipegang anak muda, diulangi di Donohudan tahun 2004, saya mengulangi lagi, ini zamannya anak muda. padahal saat di Donohudan, yang muda kan sudah agak tua, sekarang diulangi lagi,” tandasnya.

NU Latih Dai Siaga Bencana

Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia menuntut para dai atau juru dakwah mempersiapkan dirinya untuk mengambil peranan dalam memulihkan mental masyarakat paca bencana. Untuk itulah, dalam mengatasi bencana, NU tidak hanya melakukan aksi tanggap darurat dan pembagian sembako, tapi juga melakukan upaya mitigasi (pengurangan dampak bencana) seperti pelatihan dai siaga bencana.

Manajer CBDRMNU Sultonul Huda menyatakan, berbagai kegiatan yang digelar pasca bencana menunjukkan komitmen NU tentang siaga bencana antara lain dengan menyelenggarakan Pelatihan Training Of Facilitator (TOF) Da’i Siap Siaga Program Manajemen Unit (PMU) CBDRM Pengurus Besar Nahdlatul Ulama - UN OCHA, Jumat (18/12), di BPKB Rawang Pariaman.

Ketua PCNU Padang Pariaman Ramat Tuanku Sulaiman menyambut baik kegiatan pelatihan dai siaga bencana ini. “Masing-masing da’i yang menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat hendaklah yang menyejukkan. Sudah saatnya da’i tidak lagi melakukan dakwah dengan pendekatan yang menyalahkan masyarakat dengan terjadinya bencana,” urainya.

Pembukaan dihadiri Khatib PCNU Padangpariaman Ali Nurdin, Wakil Ketua Abdul Hadi, Ketua PC IPNU Lukman Hakim, Ketua PC PMII Pariaman. Pelatihan diikuti 15 orang peserta dari tiga nagari di Padangpariaman. Kegiatan berlangsung hingga Ahad

Dari Pabrik Gula Cukir Melawan Neolib

Bukan kebetulan bila KH Hasyim Asy'ari –Pendiri NU--mendirikan sebuah pesantren yang hanya berjarak 200 m sebelah barat dari pabrik gula Cukir pada tahun 1899. Kehidupan buruh pabrik yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan akibat penghisapan kapitalisme membuat Hasyim Asy'arie tergerak mendirikan sebuah pesantren demi mengangkat harkat dan martabat mereka.

Para buruh pabrik gula Cukir yang terletak di dukuh Tebuireng hanya mendapatkan upah pas-pasan yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, para buruh terpaksa berhutang kepada lintah darat ataupun majikan mereka. Hidup para buruh bagaikan "gali lubang tutup lubang". Himpitan ekonomi para buruh menyebabkan mereka berusaha mencari pelarian. Mabuk minuman keras, judi, madat dan main perempuan adalah pelarian para buruh dari kesulitan ekonomi mereka.

Sistem kapitalisme dan liberalisme yang melandasi berdirinya pabrik gula Cukir dan pabrik-pabrik gula lain di seantero Jawa secara sistematis telah melakukan proses pemiskinan yang dahsyat terhadap rakyat Indonesia. Sejak diterapkannya Cultuur Stelsel alias Tanam Paksa sejak 1830, kolonial Belanda mulai merampas tanah-tanah pertanian milik rakyat untuk ditanami komoditas perkebunan yang kalu di pasaran Eropa. Kondisi tersebut makin bertambah parah ketika Tanam Paksa digantikan Politik Liberal tahun 1870 yang membuka pintu bagi investor asing di sektor perkebunan.

Indonesia pada masa itu adalah pengekspor gula nomor dua terbesar di dunia setelah Kuba. Perkebunan tebu pun marak menggantikan tanaman makanan rakyat seperti padi dan palawija. Pabrik-pabrik gula berdiri di mana-mana. Jaringan rel kereta api pertama dibangun menghubungkan perkebunan tebu dan pabrik gula di selatan Jawa dengan Semarang, kota pelabuhan di pantai utara Jawa. Petani Indonesia yang kehilangan sawah terpaksa bekerja di perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula milik pengusaha Swasta Eropa. Salah satunya adalah pabrik gula Cukir.

Dengan mendirikan sebuah pesantren, KH Hasyim Asy'ari mencoba berdakwah kepada kaum buruh di lingkungan pabrik Cukir agar mau meninggalkan kehidupan maksiat mereka dan mencari solusi atas himpitan ekonomi yang menerpa mereka. Pesantren yang didirikan KH. Hasyim Asy'ari pun tidak hanya mengajarkan agama semata-mata, namun mengajak para santrinya yang sebagian besar adalah buruh pabrik gula Cukir untuk bertani dan berwirausaha. KH Hasyim Asy'ari tidak hanya berfungsi sebagai kyai, tapi juga sebagai motivator dan manajer yang mendorong dan mengendalikan sejumlah usaha ekonomi di pesantren tersebut. Setiap pagi usai shalat dhuha dan mengajar kitab, KH Hasyim mengumpulkan sebagian santrinya untuk diberikan berbagai macam tugas, seperti merawat sawah, ternak ataupun bangunan pondok. KH Hasyim juga seorang pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya KH Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah, ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga, pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, KH Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.


Nahdlatut Tujjar

KH Hasyim Asy'ari bersama KH Wahab Chasbullah dan sejumlah kyai dan saudagar santri lainnya lalu mendirikan Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918, sebuah organisasi yang menghimpun kyai dan saudagar Muslim untuk mendobrak ketimpangan ekonomi masyarakat akibat sistem ekonomi liberalisme yang diterapkan kolonialisme Belanda.

Berkaitan itu, KH Hasyim Asy’ari menguraikan tentang problem-problem keumatan yang terkait erat dengan soal ekonomi. KH Hasyim Asy’ari menuntut kepedulian para ulama, karena merekalah pemimpin dan teladan umat. Apabila basis-basis dan simpul-simpul kemandirian ekonomi tidak dibangun, selain para ulama telah berdosa, bangsa ini juga akan terus terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan dan kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh kolonial.

Yang tak kalah menarik, sejak awal pendiriannya, Nahdlatut Tujjar ternyata telah mengenal dan menerapkan manajemen organisasi modern. Pembagian struktur organisasi dan pembagian kerja, di mana ada para pendiri, kepala perusahaan, direktur, sekretaris, marketing dan pengawas keliling sudah dipraktikkan di Nahdlatut Tujjar. KH. Hasyim Asy’ari dipilih sebagai kepala perusahaan dan mufti (semacam komisaris), KH. Wahab Hasbullah sebagai direktur perusahaan, H. Bisri sebagai sekretaris perusahaan, dan Syafi’i sebagai marketing sekaligus pengendali perusahaan.

Ada profit share. Pembagian keuntungan 50% menjadi kesepakatan bersama, tetapi masih boleh dikembalikan untuk memperkuat modal. Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar didirikan bukan hanya untuk membangun basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakan pasar sendiri di daerah Surabaya, Kediri dan Jombang. Dengan Nahdlatut Tujjar, KH Hasyim Asy'ari bersama sejumlah kyai lain mendirikan Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Islam terbesar yang berandil besar dalam perjuangannya mendirikan Republik Indonesia.

Apakah Tuhan akan kembali mengirim reinkarnasi KH Hasyim Asy’ari untuk melawan neo-liberalisme dan memperbaharui Republik? Tuhan pun telah menjawab, "Sesungguhnya Aku tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri merubah nasibnya". Jadi, tunggu apalagi?

Mengapa Noordin M Top Nge-Bom di Indonesia?

Itulah pertanyaan sebagian orang Indonesia di tengah memburuknya hubungan Indonesia-Malaysia akibat aksi klaim tari pendet oleh Malaysia. Sebagian orang Indonesia punya pendapat ekstrem, bahwa Noordin M Top adalah agen Malaysia yang sengaja disusupkan untuk membuat kekacauan di Indonesia.

Yaitu dengan melakukan serangkaian aksi pengeboman terutama di jantung-jantung dan fasilitas pariwisata Indonesia yang bertujuan menghancurkan citra Indonesia yang aman dan damai.

Tentu saja pendapat ekstrem ini dibantah tidak hanya oleh pemerintah Malaysia, tapi oleh kebanyakan orang Indonesia sendiri. Adalah sangat naif dan berisiko bila pemerintah Malaysia sengaja menyusupkan Noordin untuk membuat kekacauan di Indonesia. Lantas mengapa Noordin M. Top melakukan aksi pengeboman di Indonesia, bukan di Malaysia?

Jawabannya adalah, Pertama; Pemerintah Malaysia sedari awal bertindak tegas. Pada bulan Februari 2002, pemerintah Malaysia menutup Pesantren Lukmanul Hakiem yang didirikan Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar dan diduga menjadi markas Jamaah Islamiyah (JI) Asia Tenggara. Noordin pernah mengajar di pesantren ini. Pada bulan April 2002, pemerintah Malaysia menangkap sejumlah aktivis Kumpulan Militan Malaysia (KMM), sebuah organisasi yang diduga menjadi payung bagi para aktivis Islam alumni jihad Afghanistan.

Penangkapan para aktivis KMM tersebut dapat cepat dilakukan Malaysia karena pemerintah Malaysia menggunakan instrumen ISA (Internal Security Act) dimana pemerintah Malaysia dapat menangkap seseorang yang dituduh membahayakan keamanan negara tanpa proses hukum acara pidana. Sejak tahun 1960, ISA digunakan pemerintah Malaysia untuk menangkap sejumlah aktivis oposisi seperti Anwar Ibrahim dan sejak 2001 digunakan untuk menangkap sejumlah aktivis muslim terkait JI tanpa proses pengadilan. Sejak ditutupnya Pesantren Lukmanul Hakiem dan ditangkapnya sejumlah aktivis KMM, maka Noordin M Top dan Dr. Azahari melarikan diri ke Indonesia.

Kedua; Bumi Indonesia ternyata cukup subur bagi berkembangnya paham radikalisme Islam, sehingga Noordin dan Azahari segera menemukan “safe house” di sejumlah tempat di Indonesia dan bahkan bersama trio Imam Samudera, Amrozi dan Mukhlas berhasil meledakkan Bom di Bali, Oktober 2002. Sesudah Bom Bali I meletus, barulah pemerintah Indonesia bergerak untuk menangkap Ustadz Abu Bakar Baasyir (ABB) pengasuh Pesantren Ngruki Solo dengan tuduhan terkait JI dan rencana membunuh presiden Megawati dimana tuduhan tersebut tidak terbukti di pengadilan. ABB “hanya” divonis 2,6 tahun penjara sejak Maret 2005 dan bebas Juni 2006.

Sejumlah ulama dan tokoh Islam saat itu serentak membela ABB termasuk Syafii Maarif ketua umum PP Muhammadiyah yang mengatakan bahwa penangkapan ABB adalah “order” dari Amerika. Hanya Gus Dur yang tegas mengatakan bahwa penangkapan ABB tidak terkait teori konspirasi Amerika dan meminta polisi membuktikan tuduhan keterlibatan ABB dengan JI. Setelah merancang Bom Bali I, Noordin dan Azahari beserta jaringan terornya masih sempat meledakkan serangkaian bom di Hotel JW Marriot (Agustus 2003), Kedubes Australia (September 2004), Bom Bali II (Oktober 2005) dan Bom Marriot-Ritz Carlton (Juli 2009) serta rangkaian pemboman di daerah lainnya. Walaupun Dr. Azahari dan Noordin sudah tewas (November 2005 dan September 2009) oleh operasi kontrateroris Densus 88 Polisi, namun banyak pengamat meyakini bahwa sejumlah tersangka teroris yang menjadi DPO polisi seperti Syaifuddin Jaelani dan Syahrir akan mampu membangun kembali sel jaringan terornya mengingat cukup banyak kaum muslim di tanah air yang se-ide dengan mereka.

Suburnya bumi Indonesia bagi paham radikalisme Islam yang pada akhirnya banyak berujung pada aksi teror dan kekerasan disebabkan tumbuhnya atmosfer kebebasan berpendapat dan berorganisasi pasca reformasi 1998. Beberapa ideologi keagamaan radikal seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Salafi berkembang pesat di Indonesia dan bebas memprogandakan ideologinya sehingga mampu menarik simpati masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah perkotaan yang minim pengetahuan agama tapi semangat ke-Islamannya sedang tumbuh. Padahal, ideologi-ideologi tersebut justru dilarang di negara kelahirannya. Ikhwanul Muslimin sudah lama dilarang eksistensinya sejak tahun 1960-an karena terlibat rangkaian kekerasan dan teror akibat persaingan politknya dengan kelompok nasionalis sekuler di Mesir. Sementara Hizbut Tahrir yang mencita-citakan berdirinya khilafah islamiyah atau imperium Islam se-dunia tidak bisa bergerak bebas di Yordania, negara kelahirannya.

Tapi di Indonesia, Ikhwanul Muslimin –yang direpresentasikan oleh PKS- bisa bergerak bebas dan berkembang pesat dan bahkan mampu meraih suara 8% pada Pemilu 2009. Bahkan Hizbut Tahrir dapat dengan bebas menyelenggarakan Konferensi Khilafah di Gelora Bung Karno pada Agustus 2007 yang dihadiri lebih dari 100.000 massa simpatisannya. Sehingga, wajarlah bila bumi Indonesia sangat subur bagi aksi terorisme yang dilandasi paham radikalisme keagamaan mengingat iklim kebebasan politik sangat dijamin oleh pemerintah pasca tumbangnya Orde Baru. Di era Orde Baru, kita sulit membayangkan ideologi semacam Ikhwan dan HT dapat berkembang bebas.

Walhasil, iklim kebebasan di Indonesia –yang tidak ada di Malaysia- menyebabkan Indonesia menjadi tanah subur bagi berkembangnya paham radikalisme keagamaan yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya aksi-aksi terorisme. Mungkin, itulah alasan Noordin M. Top nge-bom di Indonesia seperti kata Bang Napi di sebuah stasiun TV, “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan”. Dan, kesempatan –untuk berbuat teror- terbuka luas di Indonesia. Wallahu a’lam.

Mudik; Perspektif Wong Cilik

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhaiNya”(Q.S Al Fajr:27-28). Ketika memulai menulis tentang mudik, bayangan yang ada dalam benak saya bukan saja tentang sangat mahalnya tiket transportasi ke kampung halaman, jumlah THR yang mungkin akan diterima tahun ini, atau bayangan senyum bahagia Ibu Bapak melihat anaknya pulang dengan sehat dan selamat.

Lebih dari itu, saya teringat perbincangan elit tentang plot baru tatanan masyarakat global di “The Fairmont” San Fransisco yang diinisiasi oleh Michael Gorbachev pada September 1995. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh George Bush, Margareth Tatcher, Ted Turner (CNN), John Gage (Sun Microsistem) dan ratusan pemain kelas satu dunia dari berbagai latar belakang ini, mereka berkesimpulan bahwa struktur masyarakat masa depan yang akan terbangun adalah struktur 20:80 (Hans Peter Martin & Harald Schumann ; 1996).

Dalam perspektif struktur masyarakat 20:80 ini, kebutuhan seluruh dunia cukup hanya dengan melibatkan 20 % masyarakat saja. Atau dalam bahasa ekstrim, mereka hendak mengatakan bahwa dunia ini hanya untuk mereka yang masuk kategori 20 saja. Lalu bagaimana nasib masyarakat yang termasuk golongan 80 % itu?

Gagasan yang akhirnya diterima oleh peserta diskusi disampaikan oleh Haudegen Zbigniew Brzezinski, mantan penasehat keamanan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter. Brzezinski menyampaikan konsep tittytainment sebagai mekanisme untuk mengontrol perasaan frustasi masyarakat golongan 80 % sehingga tidak terjadi ledakan sosial, dengan menjamin tercukupinya kebutuhan dasar dalam hal sandang pangan dan hiburan yang murah meriah.

Fenomena itu, sekarang sudah terjadi. Faktanya, negara ini, dunia ini, hanya ditentukan oleh sebagian kecil golongan masyarakat elit saja. Sebagai argumentasi, di sektor finansial misalnya, peredaran modal dan kapital lebih besar terjadi di level taipan-konglomerat yang jumlahnya hanya puluhan jiwa, daripada peredaran modal dan kapital di level masyarakat kelas bawah yang jumlahnya puluhan juta jiwa. Ironis.

Dalam konteks ini, mudik merupakan perwujudan dari tittytainment, sebagai mekanisme bagi masyarakat kecil untuk sejenak terlepas dari tekanan dan menghibur diri dari kerasnya ritus kehidupan sehari-hari di Ibukota yang tidak mengenal belas kasihan sebagai representasi dari struktur sosial yang tidak berpihak kepada wong cilik.

Sayangnya, masyarakat kecil harus mengeluarkan pengorbanan ekstra dalam upaya memperoleh tittytainment tersebut, terutama dalam hal membengkaknya biaya transportasi.

Tidak seharusnya tarif transportasi pada waktu mudik ditentukan dengan pendekatan supply & demand semata, karena dalam titik tertentu, hal ini dapat membuat mekanisme tittytaintment tidak lagi efektif untuk menjaga harmoni sosial di masyarakat. Dalam konsep tittytaintment yang dikemukakan oleh Brezinzki golongan masyarakat kelas 20 yang seharusnya memberikannya secara cuma-cuma kepada golongan masyarakat kelas 80.

Atas dasar itu, saya merasa muak dengan prasangka negatif bahwa mudik dilakukan untuk pamer keberhasilan dan untuk menunjukkan status sosial kepada orang di kampung. Apanya yang layak dipamerkan dari masyarakat kelas 80 ?
Tetapi jika prasangka itu benar, saya lebih kasihan lagi kepada pemudik yang melakukannya, dengan pertanyaan besar, sebenarnya apa yang hendak dicari? Kepalsuan atau kepura-puraan untuk lebih menghibur diri?

Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang mudik yang beruntung. Ja’alanaLlahu Waiyyakum Minal ’Aidin Wal Faizin.

Jargon Indah Untuk Agenda Busuk


Judul di atas adalah terjemah bebas dari statemen Khalifah Ali bin Abu Thalib ketika menghadapi demonstran yang menuntut penerapan hukum Allah “La hukma illa lillah” (Tidak ada hukum kecuali hukum Allah) dan menolak putusan hukum Ali karena dinilai sebagai produk manusia. Demonstrasi tuntutan penerapan hukum Allah atau Islamic Law Enforcement (Tathbîqus syari’ah) dijawab Ali dengan pernyataan “Kalimatu haqqin yurâdu bihâ bâthilun” (kata indah tetapi dengan tujuan yang sesat).

Warning Sahabat Ali yang ditulis oleh Imam Muslim dalam Kitab Sahihnya tersebut juga bisa ditemukan dalam khazanah keilmuan Islam. Salah satunya adalah ensiklopedi hadis berjudul “Kanzul ummâl fi sunanil aqwâl wal af’âl” karya Alaudin al-Hindy dengan penambahan statemen bahwa para demonstran yang mengusung jargon indah tersebut adalah para “pengkhianat besar” (al-Khayyânun).

Statemen pemuda yang pertama kali masuk Islam ini, merupakan sikap membangun kewaspadaan agar umat Islam tidak terjebak dengan slogan-slogan yang nampaknya “indah” namun dijadikan alat untuk menebarkan tindak kekerasan. Ali memperingatkan: jangan melakukan kejahatan kemanusiaan dengan bungkus “Atas Nama Tuhan”. Akhirnya sejarah juga mencatat bahwa Ali terbunuh oleh para demonstran dengan mengatasnamakan “penerapan Ayat Tuhan”.

Fenomena merebaknya jargon “Isy Kariman au Mut Syahidan” (Hidup mulia atau mati syahid) juga perlu dicermati secara kritis. Penulis selama 28 tahun belajar studi Al-Qur’an dan Al-Hadis sejak di pesantren sampai sekarang mengampu mata kuliah tersebut, tidak pernah menjumpai redaksi tersebut dalam kitab-kitab standar keilmuan. Secara akademis statemen ini tidak perlu dianalisa, ditafsirkan apalagi diuji kesahihannya, karena statemen ini bukanlah teks suci keagamaan, bukan perkataan Sahabat Nabi dan hanya muncul dalam selebaran-selebaran pendorong mati syahid untuk Dying for Win. Doktrin tersebut juga tidak jelas siapa yang pertama kali mengucapkannya, dan tidaklah salah kalau penulis menyimpulkan bahwa slogan tersebut sangat tidak akademis.

Memang ada statemen klasik yang mirip dengan jargon tersebut, yaitu “Isy Kariman wa Mut Kariman” (hiduplah sebagai orang yang mulia dan matilah juga sebagai orang yang mulia) yang diucapkan Asma’ binti Abu Bakar kepada anaknya, Abdullah bin Zubair. Secara epistemologis, statemen ini dapat didiskusikan dan dianalisa latar belakang historis dan sosiologisnya. Pesan Seorang Ibu tersebut bisa dibaca dalam karya-karya sejarah klasik seperti Tarikh Dimisyqa karya Ibnu Asakir dan juga Tahzîb al-Asma’ wa al-Lughat karya Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi yang penulis pernah menziarahi makamnya di ‘Nawa”, selatan kota Damaskus Syria.

Pesan Asma’ ini sangat berbeda dengan jargon “Isy Kariman au Mut Syahidan” baik redaksional maupun setting sejarahnya. Pesan Asma’ mengarah kepada tujuan hidup mulia dan mati juga mulia tanpa adanya opsi, sementara jargon penambah energi militansi tersebut menggiring orang untuk memilih satu di antara dua opsi yaitu: hidup mulia atau mati syahid dengan pemakaian kata sambung “au” yang menurut gramatikal Arab untuk “takhyîr” (pilihan).

Struggle of Power Abdullah bin Zubair versus Yazid bin Muawiyah inilah yang mendorong Asma’ mengeluarkan pesan penyemangat tersebut kepada anaknya dengan penambahan : Lâ yal’abanna bika shibyânu Bani Umayyah” (Jangan sekali-kali anak-anak Bani Umayyah ini mempermainkan dirimu).

Pada sisi lain, ada Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad: “ilbas jadidan wa Isy Hamidan wa Mut Syahidan” (pakailah baju yang baru, hiduplah yang terpuji dan matilah sebagai syahid). Historisitasnya, Nabi bertemu Ibnu Umar dan bertanya: Bajumu baru atau dilaundry? Ibnu Umar menjawab: Bukan baju baru tapi baju lama yang dilaundry. Akhirnya Nabi mengeluarkan sabdanya tersebut yang menurut Imam As-Sindy merupakan doa untuk Ibnu Umar agar mendapatkan rizki yang banyak, bisa hidup bahagia dan meninggal sebagai syahid.

Jika pernyataan Nabi ini difahami secara kaku (rigid) dan parsial serta dilepaskan dari historisitas isi/matan hadis (tawârikhul mutun), maka para penebar teror akan menjadikan sabda ini sebagai justifikasi tindak kekerasan.

Ketika penulis di Mesir untuk berguru kepada Prof. Hassan Hanafi dan Gamal al-Banna pada tahun 2005, bertepatan dengan pemilu legislatif negeri pyramid tersebut, penulis menyaksikan baliho-baliho besar terpampang di sepanjang jalan kota Kairo. Political Languages, bahasa-bahasa politik yang tertulis di baliho tersebut sangat beragam dan secara khusus penulis memperhatikan banyaknya baliho yang mengatasnamakan agama untuk tujuan politik. Jargon seperti “Al-Islâm huwa al-hall” (Islam adalah solusi), Al-Jihâd Sabilunâ (jihad adalah jalan kami), li Thatbiqis Syari’ah (untuk menegakkan syariah) menjadi menu marketing kekuasaan. Yang lebih vulgar adalah baliho yang mencantumkan lambang Al-Ikhwan al-Muslimun yaitu Gambar Al-Qur’an dengan dua bilah pedang di bawahnya. Sejarah juga mencatat bahwa karya-karya kekerasan di Mesir sering melibatkan para pengusung jargon tersebut, mulai IM (al-Ikhwan al-Muslimun), al-Jama’ah al-Islamiyyah serta Jama’ah al-Jihad.

Slogan kekerasan dengan bungkus agama seperti Al-Islâm huwa al-Qur’an wa as-Saif (Islam adalah al-Qur’an dan pedang), Al-Islâm huwa as-shalât wa al-qitâl(Islam adalah Shalat dan Perang) bisa ditemukan dalam dokumen-dokumen yang menjadi pegangan para teroris. Salah satunya adalah dokumen “highly secret” yang bertitelkan “Durûs Askariyyah fî Jihâd at-Thawâghîth” (Training Militer untuk Memerangi Penguasa thaghut/ tidak memakai hukum Tuhan) setebal 180 halaman dan berisi 18 training pokok untuk para operator Al-Qa’idah.

Cover dokumen tersebut bergambar bola dunia dengan sebilah pedang panjang yang menusuk peta dunia dengan ujungnya berlumuran darah. Di pojok kanan juga tertulis “Silsilah Askariyyah; I’lânul Jihâd ala Thawâghîth al-Bilâd” (Seri Militer: Deklarasi Perang Terhadap Negara-negara thaghut).

Dokumen ini diawali dengan statemen ideologi kekerasan yang merupakan satu-satunya cara untuk menggapai tujuan politik Al-Qa’idah yaitu berdirinya “Islamic Government” di muka bumi. Statemen tsb berbunyi “Pemerintahan Islam tidak pernah dan tidak akan pernah tegak berdiri dengan cara diplomasi damai. Akan tetapi harus dengan pena dan senjata, dengan kata dan peluru. Kami tidak butuh dialog model Plato, Aristoteles dan Socrates. Kami hanya membutuhkan diplomasi mesin perang dan dialog bom”.

Negara Thaghut dalam persepsi Al-Qa’idah dan juga semua jejaring kekerasan termasuk Al-Jama’ah Al-Islamiyyah, adalah semua negara yang tidak memperjuangkan Islamic State dan Khilafah Global meski penduduknya beragama Islam.

Berdasarkan main idea ini, sehari setelah penemuan bahan peledak di Bekasi dan ditemukannya dokumen rencana pembunuhan Presiden SBY, penulis diwawancarai ‘live” oleh stasiun SBS (Special Broadcasting Service) Sydney Australia tentang rencana teroris dalam pembunuhan Presiden SBY. Penulis menjawab, bahwa hal itu sangat dimungkinkan karena SBY adalah seorang Presiden yang selalu membawa Negara Indonesia dalam koridor PANCASILA, dan di mata jejaring penebar teror, Pancasila dan juga sistem demokrasi adalah sesuatu yang najis. Penguasa pendukung Pancasila dan Demokrasi adalah penguasa thaghut yang menurut dokumen Al-Qa’idah tersebut harus diperangi.

Kampanye “Spreading peace for all” dan “jihad untuk kemanusiaan” harus dijadikan prioritas pemerintah NKRI bersama para ulama dan kaum intelektual untuk “Ta’kidul Islâm ka Rahmatin wa Salâmin Lil âlamin fi mujtama’in ta’addudiyyin” (Mempertegas Islam sebagai rahmat dan motor perdamaian bagi seluruh alam dalam bingkai masyarakat yang plural).

Sebuah baliho besar di hotel Hilton, depan Masjidil haram Makkah al-Mukarramah yang penulis saksikan pada penghujung Ramadlan 2004, menjadi inspirasi besar untuk tulisan ini. Baliho tersebut bergambarkan Al-Qur’an dan kitab Hadis yang di bawahnya tertulis pesan indah untuk kemanusiaan “Lâ, lil-Irhâb” (Al-Qur’an dan As-Sunnah bukan untuk menebar teror). Karena realitasnya, terorisme adalah threat of religion (musuh agama) dan sekaligus threat to religion (mengancam agama).

Bidadari itu Dibawa Jibril (Cerpen)

Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.

Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah--dia biasa memanggilnya ukhti--jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas.

Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas tangan kiri, "Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;" katanya, "Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik, menggunakan tangan kanan!" Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. "Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu." Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. "Bapak tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang ada anjingnya!"

Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama.

Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.*

Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.

Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, "Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?

"Syeikh baru?" tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar."Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.

"Siapa, mas?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Jibril, mas. Malaikat Jibril!""Jibril?" aku tak bisa menahan tertawaku.

Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak."Jangan ketawa! Ini serius!

"Wah. Katanya, bagaimana rupanya?" aku masih kurang percaya."Dia tidak cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.

"Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. "Bagaimana ceritanya, mas?

"Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.

"Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?""Lo, malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.

"Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!" selaku, "Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.

"Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya lo."Wah."Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun.

Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu kini "hanya" menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.

Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.

"Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri. "Apa, mas?" aku terkejut setengah mati, "membakar diri bagaimana?

"Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian membakarnya.

"Hei," aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri.

"Yang lucu, mas," suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, "gurunya itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya, mas?!

"Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon."Doakan sajalah mas!" kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.

Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.

"Pernah pulang sebentar, mas" kata Mas Danu di telepon, "dan Sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana?"***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: "Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.

Sufi Memandang Kekuasaan

Khazanah tasawuf mengenal sebuah kitab sufi klasik berjudul Kasyful Mahjub. Kitab ini ditulis oleh al-Hujwiri yang hidup pada abad kelima Hijriyah. Dari segi fikih, al-Hujwiri mengikuti Imam Abu Hanifah. Dalam Kasyful Mahjub, al-Hujwiri banyak bercerita tentang kisah gurunya itu.

Abu Hanifah hidup pada masa kekuasaan Khalifah al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah. Pada suatu saat, khalifah bermaksud untuk mengangkat seseorang sebagai Hakim Agung, waktu itu disebut dengan gelaran Qadi. Sezaman dengan Abu Hanifah, hidup pula tiga orang ulama besar lain, yaitu Sufyan al-Tsauri, Mis’ar bin Qidam dan Syuraih. Khalifah al-Mansur ingin memilih salah satu dari para ulama ahli fikih di kerajaannya untuk dijadikan Qadi.

Mereka pun dipanggil ke istana. Ketika keempat ulama itu berjalan bersama ke istana untuk memenuhi undangan khalifah, Abu Hanifah berpikir untuk menyusun sebuah rencana yang sungguh menarik. Keempat ulama itu memutuskan untuk menolak permintaan khalifah. Mereka membicarakan bagaimana caranya menolak permohonan itu tanpa menyinggung perasaan khalifah. Mau tidak mau, salah seorang di antara mereka harus menjadi hakim agung. Bila semua menolak, bencana akan mengancam mereka karena khalifah al-Mansur terkenal sebagai penguasa tiran yang sangat keras. Kepada ketiga ulama lain, Abu Hanifah mengemukakan rencananya,“Aku akan menolak jabatan itu dengan caraku sendiri. Aku minta Mis’ar untuk berpura-pura gila; Sufyan untuk melarikan diri; dan Syuraih-lah yang akan dijadikan Qadi”.

Sufyan al-Tsauri pun kabur ke sebuah pelabuhan dan bersembunyi di bawah kapal yang akan berlayar. Ketiga ulama lainnya berangkat menuju istana khalifah. Sesampainya di tempat itu, al-Mansur berkata kepada Abu Hanifah, “Engkaulah yang harus menjadi hakim agung!” Abu Hanifah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku bukanlah seorang Arab melainkan hanya sahabat orang-orang Arab. Pemimpin-pemimpin Arab tidak akan menerima keputusan hakim agung seperti aku”. Abu Hanifah berkata demikian karena ia berasal dari Persia, sementara al-Mansur adalah keturunan dari Abbas, paman Rasulullah. Dengan mengemukakan alasan itu, ia meminta agar al-Mansur tidak mengangkatnya sebagai Qadi.

Al-Mansur berkata, “Jabatan ini tidak ada hubungannya dengan garis keturunan. Yang dibutuhkan dalam jabatan ini adalah ilmu dan engkau adalah ulama paling terkemuka di zaman ini”. Abu Hanifah tetap mempertahankan alasannya dan berkata bahwa ia tidak cocok untuk jabatan setinggi itu. Al-Mantsur menjawab bahwa keberatan Abu Hanifah itu tak lain hanyalah kebohongan untuk menutupi ketidaksediaannya. Abu Hanifah berkata,“Jika kukatakan bahwa aku tidak cocok untuk jabatan itu dan engkau mengatakan bahwa ucapanku adalah sebuah kebohongan, tentu tidak dibenarkan seorang hakim agung dari kaum Muslimin untuk berbohong. Tidak benar pula mempercayakan kepada seseorang yang kau sebut sebagai pembohong, kehidupan, kekayaan dan kehormatan yang kau miliki”. Abu Hanifah pun berhasil mengelak dari jabatan hakim agung.

Setelah itu, Mis’ar bin Qidam tampil ke muka dan menjabat tangan Khalifah al-Mansur, seraya berkata,“Apa kabarmu dan kabar anak-anak serta hewan ternak piaraanmu?” Ulama itu mengatakan hal ini kepada sang penguasa tanpa sopan santun sama sekali. Ia menampakkan bahwa perbuatannya itu dilakukan di luar kesadarannya. “Keluarkan orang ini!” teriak al-Mansur, “ia sudah gila!”.

Tinggallah seorang ulama lagi. Syuraih pun diberitahu bahwa ialah yang harus mengisi kekosongan jabatan Qadi. Seperti dua orang temannya yang lain, ia pun mengajukan keberatannya sendiri,“Aku ini mudah sedih dan senang melucu. Orang yang penyedih dan suka bercanda tidak layak menjadi hakim agung”. Khalifah al-Mansur meminta ia untuk meminum obat agar pikirannya pulih kembali. Akhirnya, Syuraih diangkat menjadi Qadi. Sejak Syuraih menjadi Qadi, Abu Hanifah tak pernah lagi berbicara kepadanya sepatah kata pun dan tak pernah berkunjung ke rumahnya sekali pun.

Dari kisah ini, tersimpuh pelajaran yang amat berharga, yakni bagaimana para ulama besar berusaha untuk menolak jabatan tinggi di dalam pemerintahan. Demi menjauhi kekuasaan, mereka melakukan segala cara. Sufyan al-Tsauri, seorang fakih besar yang pada zamannya dianggap pendiri mazhab al-Tsauri, memilih untuk melarikan diri meninggalkan keluarga dan tanah airnya untuk menghindari jabatan. Ia baru kembali setelah Syuraih diangkat menjadi Qadi. Abu Hanifah berusaha dengan keras menolak perintah khalifah dan Mis’ar bin Qidam berpura-pura sakit ingatan untuk mengelak permintaan al-Mantsur.

Al-Hujwiri menutup cerita itu dengan menulis,“Kisah ini tidak saja menunjukkan kebijaksanaan Abu Hanifah, tetapi juga keteguhannya di dalam kebenaran dan tekadnya untuk tidak membiarkan dirinya dibuai dalam keinginan untuk mencari kemegahan dan popularitas. Lebih jauh, hal ini merupakan pembenaran bagi malamatiyyah. Malamatiyyah adalah satu konsep di dalam tasawuf di mana seorang sufi berusaha untuk menunjukkan kejelekkan dirinya sehingga orang tidak menilainya berlebih-lebihan. “Kelakuan Abu Hanifah amat berbeda dengan perbuatan para ulama sekarang. Mereka menjadikan istana para sultan sebagai kiblat mereka dan rumah para penjahat sebagai puri mereka.”

Kalimat-kalimat ini sangat menarik, karena ditulis al-Hujwiri pada abad kelima Hijriyah, seribu tahun yang lalu. Namun, ketika membaca ucapan al-Hujwiri, seakan-akan al-Hujwiri berkisah tentang keadaan saat ini. Hari ini, ada banyak tayangan para ulama yang berkiblat kepada istana para penguasa negeri ini. Dan ulama seperti Abu Hanifah, demi mempertahankan integritas dan kepribadiannya, mampu menolak jabatan, setinggi apa pun kekuasaan itu. Sebuah kerinduan akan ulama yang memilih kesucian hati ketimbang keindahan rumah mereka.

Temukan Diri Lewat Pintu Tasawuf

Penempatan manusia di bumi sekarang ini sama seperti udara berbau busuk, laut tercemar, penebanan hutan yang ganas, percobaan nuklir dan seterusnya. Jika manusia melakukan hal itu, mereka akan sekali lagi diusir. Namun, ke manakah mereka akan pergi?

Inilah yang harus dipikirkan oleh manusia yang mengklaim diri sebagai makhluk terunggul. Dimana letak keunggulan itu? Tantangan ini muncul dalam buku Jalan Kebahagiaan, Tasawuf Kalbu Islam, karya Syeikh Khaled Bentounes, Pemimpin Tarekat Alawiyyah. Pelaku sufisme yang tinggal di Perancis ini pernah berkunjung ke Yogyakarta 2008 lalu.
Pemikiran sufisme itu berujung pada penemuan manusia atas dirinya sendiri. Manusia tidak terasing dari dirinya, sehingga terbebas dari segala insting, kecuali menjadi pelayan Tuhan. Itulah manusia universal yang bisa melihat dirinya sendiri. Kehidupan, nalar, dan ajaran pada dasarnya untuk seluruh manusia. Ini karena manusia berasal dari unsur yang sama, yaitu tanah dan kedudukannya sama bak gigi sisir. Yang membedakan ada pada tataran tindakan. Jadi, dalam dunia materi, kehidupan sosial kehidupan sehari-hari dan di lingkungan sekitar harus selalu ditanyakan akan peran kita, apa yang kita perlukan dan apa yang bisa kita berikan.

Syeikh Khaled memaparkan pemikiran itu melalui diagram lingkaran. Setiap lingkaran menunjukkan tingkatan kehidupan manusia, seperti dalam lingkaran yang dipakai oleh para sufi untuk melihat manusia. Lingkaran terluar adalah mineral dan lingkaran di dalamnya adalah tumbuhan, binatang, dan lingkaran sebagai sentral adalah dunia manusia. Di atas lingkaran sentral itu, ada tataran metafisika dari yang terluar pencarian diri, kemudian manusia tak dikenal dan berakhir di lingkaran sentral, yaitu manusia yang dikenal. Kita semua berasal dari mineral dan air di mana air adalah sumber kehidupan.

“Kita semua berisi mineral, tetapi juga berasal dari dunia tumbuh-tumbuhan. Lalu, muncul dunia binatang yang masih membekas di pikiran dan perilaku kita," ujar Syeikh Khaled. Di dunia fisik manusia, semua terasa bila dipegang, tetapi di balik itu ada yang tidak terasa bila dipegang. "Itulah manusia yang belum dikenal. Karena itu, saya harus tahu siapa diri saya," katanya. Dalam pencarian itulah masuk pengetahuan ilmiah untuk mencari diri manusia.

Setelah manusia menemukan dirinya, manusia menjadi lingkaran penuh yang memiliki sifat yang sangat mulia, yaitu kemanusiaan. "Itulah yang disebut manusia universal, yang tahu diri sendiri dan hanya menjadi pelayan Tuhan. Kesadaran itu yang akan membebaskan manusia dari segala nafsu," tutur Syeikh Khaled.

Untuk mencapai tingkatan kesadaran itu, manusia tidak bisa lepas dari agama yang menuntun ke dunia spiritual yang mencerahi tataran tindakan. Untuk memahami ajaran agama, Bentounes menampilkan kembali diagram lingkaran. Lingkaran terluar adalah unsur ibadah, di dalamnya unsur budaya dan inti lingkaran adalah spiritual. Setiap agama memiliki tuntunan masing-masing. Dan, dalam mengajarkan agama, sering hanya sampai lingkaran luar, yaitu ibadah. Manusia lupa kalau agama itu juga mengajarkan perilaku, sikap, dan cara hidup.

“Ada aspek budaya dalam agama," kata Syeikh Khaled. Bila manusia berhenti di tingkatan ibadah, manusia hanya melakukan satu visi saja. Ibadah biasanya dikaitkan dengan emosi, budaya dikaitkan dengan penalaran, dan spiritual terkait dengan intisari ibadah, hubungan antarmanusia dan hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa. "Pelajaran pada tingkatan-tingkatan itu akan membebaskan dari sektarian, komformis dan dogmatisme. Pelajaran itu yang membuat kita mampu mengerti sesuatu yang hidup," ujar Syeikh Khaled, yang lahir 57 tahun lalu di Mostaganem, sebuah kota kecil di pinggiran Aljazair.

Syeikh Khaled kembali menampilkan diagram lingkaran untuk menjelaskan pencapaian ihsan. Lingkaran pertama adalah Islam yang bersisi kumpulan aturan yang diturunkan ke bumi dan untuk dijalankan oleh manusia, dan yang utama adalah syariah yang berarti aturan hukum dan jalan. Lingkaran kedua adalah iman. Syariah adalah jalan menuju iman. Dalam tasawuf, jalan itu semacam energi bukan hanya kepercayaan yang diwariskan. Lingkaran ketiga adalah ihsan. Jalan itu mengantar ke tingkatan ihsan, yaitu akhir dari tujuan.

Di tingkatan ihsan inilah manusia bisa merasakan kehadiran Allah. Bagi para sufi, pada tataran Islam, Saya adalah Saya, Kamu adalah Kamu. Pada tataran Iman berisi Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku. Pada tataran Ihsan, Tidak ada Aku tidak ada Kamu. Semuanya tidak ada, ego manusia hilang. Para sufi bertutur, siapa yang mengenal alam absolut itu tidak hanya kelu, tetapi juga lumpuh. Karena itu, mereka selalu berusaha dengan rendah hati melihat dirinya sendiri.

Ramadhan Menyehatkan Jasmani dan Rohani

Sebagai hamba Allah SWT yang telah berikrar, sebenarnya apa pun perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa, untuk apa?. Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik sangka kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan kita.

Karena Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Ia mulia bukan karena dimuliakan; agung bukan karena diagungkan; berwibawa bukan karena ditunduki. Sejak semula Ia sudah Maha Mulia, sudah Maha Agung, sudah Maha Kaya, sudah Maha Berwibawa. Kalau kemudian Ia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Ia tahu watak kita yang suka mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri.

Maka, sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa, misalnya, Allah SWT telah berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

(Q. 2. Al-Baqarah: 183)

"Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."

Jadi, puasa yang diwajibkan sejak dulu kepada kaum sebelum kita, bertujuan utama: agar kita manusia ini bertakwa. Takwa adalah kondisi puncak hamba Allah. Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akhirat, kuncinya adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan rejeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya; hingga kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q.3: 76, 120, 133, 186; Q.5:27; Q. 16: 128; Q. 19: 72; Q. 39: 61; Q. 65: 2-3; Q. 33: 70-71; Q. 49: 13).

Itu garis besarnya. Apabila kebahagiaan yang dicari manusia, itulah kuncinya. Kunci dari Sang Pencipta manusia dan kebahagiaan itu sendiri. Seringkali, manusia merasa mengerti dan tahu jalan menuju kebahagiaan. Mengabaikan tuntunan Tuhannya. Ternyata tersesat. Akhirnya, kebahagiaan yang dicari, kesengsaraan yang didapat. Di zaman modern ini misalnya, banyak orang menganggap kebahagiaan bisa didapat dari materi dan orang pun berlomba-lomba mengejar materi. Seringkali, sampai “kaki dijadikan kepala, kepala dijadikan kaki”. Ujung-ujungnya, karena materi ternyata tidak kunjung memberi kebahagiaan, mereka pun lari kepada yang lebih mudarat lagi: mengonsumsi obat-obatan. Narkoba.

Untunglah, Allah menyediakan satu bulan, bulan suci, dimana kita diberi kesempatan untuk melakukan muhasabah yang lebih intens. Kita diberi anugerah luar biasa yang namanya p u a s a. Di bulan Ramadan di mana kita berpuasa, ritme dan gaya hidup kita berubah. Jadwal makan pun berubah dengan satu kelebihan: kita memenuhinya dengan teratur. Maka, banyak kalangan ahli yang kemudian mengaitkan puasa dengan kesehatan, merujuk sabda Nabi kita, “Shuumuu tashihhuu”, (Berpuasalah kalian, maka kalian akan sehat).

Dengan berpuasa, tidak hanya makan-minum kita menjadi teratur; malah para ahli mengatakan bahwa puasa dapat membersihkan dari tubuh kita, unsur-unsur buruk yang membuat kita sakit.

Jadi, puasa bulan Ramadan, bukan saja dianugerahkan Allah bagi kepentingan ruhaniah, tapi juga jasmaniah kita. Atau dengan kata lain, Allah menganugerahkan kepada kita puasa sebagai sarana menyempurnakan diri. Jasmaniah dan ruhaniah. Kalau ungkapan “Al-‘aqlus saliim fil jismis saliim” menyiratkan pentingnya menjaga kesehatan jasmani agar akal menjadi sehat, maka puasa justru memberi peluang kepada kita untuk sekaligus meraih keduanya.

Dengan puasa, hamba Allah digembleng untuk menjadi manusia yang benar-benar sehat luar dalam yang selalu mengingat Sang Penciptanya. Bukan manusia penyakitan yang gampang lupa kepada Tuhannya. Orang yang lupa Tuhannya, seperti difirmankanNya sendiri dalam kitab sucinya al-Quran, dibuat lupa kepada dirinya sendiri.(Q. 59: 19).

Mari kita sikapi bulan Ramadan dengan segala suasana khusyuknya ini dengan sebaik-baiknya. Berpuasa sesuai aturan dan dengan merenungkan hikmah-hikmahnya. Kita penuhi saat-saatnya dengan meningkatkan amal ibadah yang tidak hanya bersifat ritual mahdhah. Dan dalam hal ini, perlu kita waspadai jebakan si serakah industri, termasuk dan utamanya industri pertelevisian, yang lagi-lagi memanfaatkan momentum bulan suci untuk mengeruk keuntungan materi dan membedaki tujuan komersialnya dengan pupur religi. Selamat Beribadah!

Idul Adha di Swiss Tanpa Pemotongan Hewan Kurban

Berbeda dengan umat Islam di seluruh dunia yang merayakan Idul Adha dengan menyembelih hewan kurban, umat Islam di Swiss tidak dapat menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha karena terkendala peraturan pemerintah Swiss yang melarang penyembelihan hewan tanpa pemberitahuan.

Walaupun demikian, umat Islam di Swiss masih dapat menikmati dan melaksanakan perayaan Idul Adha, salah satu dari dua hari raya besar Islam.

"Hari raya Idul Adha adalah waktu untuk bergembira dan menjalin persaudaraan," Hisyam Maizar, presiden Federasi Organisasi Islam di Swiss, mengatakan kepada IslamOnline.net.

"Kami tidak akan berputus asa oleh kampanye kebencian yang dilancarkan kelompok sayap kanan."

Sama dengan sebagian besar umat Islam di dunia yang merayakan Idul Adha pada hari Jumat ini (27/11) begitu juga dengan masyarakat Islam Swiss.

Pada hari ketiga Idul Adha nanti warga Swiss akan memberikan suara pada referendum yang dipelopori oleh kelompok sayap kanan - Partai Rakyat Swiss (SVP) untuk melarang pembangunan menara di negara Eropa tersebut.

Klaim dari SVP bahwa menara adalah simbol syariah islam dan dengan demikian tidak sesuai dengan sistem hukum Swiss.

"Kami gembira Idul Adha tidak dilarang oleh kelompok sayap kanan," tambah Maizar.

"Kami yakin bahwa Swiss akan memilih menolak usulan larangan menara."

Pelarangan menara ini ditentang oleh pemerintah, parlemen dan semua partai politik besar di negara Eropa.

Uskup Katolik Roma dan rabi Yahudi juga mendesak para pemilih untuk menolak larangan menara.

Amnesty International mengatakan pada hari Rabu 925/11) bahwa larangan seperti itu akan menjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan pelanggaran hak-hak kesetaraan.

Islam adalah agama kedua di Swiss setelah Kristen, yang merupakan rumah bagi 400.000 umat Islam.


Tidak untuk Udhiyah

Aura Idul Adha juga ada di daerah-daerah berpenduduk muslim di seluruh negara Eropa.

Toko-toko di sepanjang lingkungan La Paix di Jenewa menjual segala jenis masakan tradisional Arab, Turki dan Balkan.

"Mereka ingin merusak Idul Adha kami dengan kampanye rasis, tapi kami tidak akan membiarkan mereka, "kata Mustafa Kamal, pemilik toko makanan yang halal.

"Kami yakin Swiss tidak akan ambil bagian dalam lelucon ini."

Namun keceriaan Idul Adha dibayangi oleh ketidakmampuan umat Islam di negara itu untuk melakukan pemotongan hewan kurban.

"Kami hanya menyumbangkan uang dan membayar tunai harga Udhiyah untuk masyarakat miskin dan lembaga amal di dunia Muslim," kata Maizar, pemimpin komunitas Muslim.

Di bawah hukum Swiss penyembelihan hewan tanpa pemberitahuan merupakan tindakan terlarang.

Umat Islam Swiss karena adanya larangan seperti itu akhirnya memilih menyumbangkan uang atau mengimpor Udhiyah yang telah disembelih dari negara tetangga mereka - Perancis.

Hedley Churchward, Orang Inggris Pertama yang Naik Haji

Tahukah anda? Pada tahun 1910 telah ada Muslim asli Inggris yang telah menunaikan ibadah haji, yaitu Hedley Churchward yang sejak masuk Islam berganti nama menjadi Mahmoud Mobarek, telah menjadi orang Inggris pertama yang tercatat dalam sejarah yang menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu naik Haji.

Abdulhakim Murad, seorang dosen dari Universitas Cambridge departemen Studi Islam, menceritakan kisah menarik peristiwa masuk Islamnya Hedley Churchward yang tercatat sebagai muslim pertama kelahiran Inggris yang melakukan ibadah haji dengan menempuh perjalanan selama lima bulan ke Ka'bah.

Hedley Churchward (Mahmoud Mobarek) lahir menjadi salah satu dari keluarga yang paling terkenal di Inggris, keluarganya memiliki rumah paling tua kedua (berusia lebih dari 700 tahun) di Inggris. Hedley Churchward juga memiliki bakat seni yang diakui orang sejak dirinya berusia dini. Bidang spesialisasi nya adalah melukis pemandangan untuk pentas teater dan di tahun 1880-an, ia menjadi terkenal dengan lukisannya.

Pada perjalanannya yang penuh inspirasi dengan melewati Spanyol, Churchward sangat terkagum-kagum untuk pertama kalinya melihat keindahan arsitektur Islam sisa-sisa peninggalan kebesaran Islam Andalusia dan dari Spanyol ia kemudian melanjutkan perjalanan menyeberang ke Maroko di mana disana ia terkesan dengan kemurnian dan kelembutan gaya hidup Islam masyarakat Maroko. Setelah beberapa saat perjalanannya di Maroko, Hedley Churchward membuat kepetusan yang sangat mengejutkan bagi keluarganya: Ia memutuskan untuk bersyahadat dan menyatakan diri masuk Islam.

Bagi seorang mualaf - Churchward memiliki prestasi besar dalam bidang studi Islam. Dirinya belajar di universitas Al-Azhar selama bertahun-tahun dan menjadi seorang pendakwah dan dosen terkemuka dalam mata kuliah Sirah di Qadi Akademi.

Sewaktu di Kairo, Mahmoud Churchward yang mempunyai bakat seni melukis - ditugaskan untuk menghiasi salah satu masjid di kota itu. Atas banyak jasanya, Presiden Afrika Selatan pada waktu itu - Paul Kruger - sebagai tanda terima kasih kepada Churchward - dirinya memberikan izin untuk pembangunan masjid pertama di Witwatersrand, Afrika Selatan. Churchward menikah dengan seorang wanita Mesir, yang merupakan putri dari salah satu ahli hukum Syariah terkemuka Al-Azhar.

Sejak dirinya masuk Islam, ia telah berpikir dan merasa bahwa ia belum sepenuhnya terintegrasi dengan Islam. Hingga akhirnya Churchward memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji dalam upaya untuk melengkapi Rukun Islam.

Abdulhakim Murad menceritakan pikiran dan perasaan yang mendalam Churhward atas perjalanannya ke Mekkah melalui pernyataan Churchward sendiri: "Suatu malam, ketika aku berjalan di sepanjang Piramida yang menjulang di waktu matahari terbenam,dan melihat kaki langit di belakang kota Kairo yang menerawangi senja wilayah Afrika, aku memutuskan untuk melaksanakan niatku yang seharusnya aku lakukan sejak aku menjadi seorang Muslim - aku akan pergi ke Ka'bah di Mekah. "

Pada tahun 1910 dalam situasi sosial politik yang kurang menguntungkan, niat tulusnya untuk melaksanakan ibadah haji harus melalui pembuktikan, karena secara syariah non-muslim dilarang untuk masuk ke perbatasan Mekkah. Churchward harus menjalani ujian soal pengetahuan Islam selama tiga jam yang dilakukan oleh seorang Qadhi Mesir untuk mengetahui pemahaman keIslamannya. Setelah berhasil ujian, ia mendapatkan 'paspor keagamaan' yang didukung oleh Qadhi seorang pimpinan ulama dari kekhalifahan Utsmaniyah waktu itu dan banyak ulama terkemuka dan para imam yang membantu dirinya untuk mengatasi kemungkinan hambatan birokrasi selama perjalanannya menuju Baitullah. Churchward berangkat dari Afrika Selatan (Johannesburg) menuju Mekkah pada tahun 1910. Dia menjalani perjalanan yang sangat melelahkan dengan menaiki kapal uap melalui Bombay.

Di pelabuhan Sudan Suakin, ia berkunjung ke kedutaan Inggris dan diberitahu bahwa ia tidak akan diizinkan untuk turun di Jeddah. Namun, ia mampu menyelesaikan persoalan itu, di mana ia menghubungi pejabat Utsmani dan tidak mengalami masalah sedikitpun. Di sana ia juga berkomunikasi dengan biro panduan haji dan mereka berangkat ke Kota Suci dengan dua keledai di malam berikutnya.

Abdulhakim Murad juga menceritakan banyak rintangan yang dilalui oleh Churchward dalam melakukan perjalanan menuju Mekkah. Dalam perjalanannya melintasi gurun pasir, ia sempat diserang oleh sekelompok Arab baduy yang ingin merampok kafilahnya, namun Churcward mampu melewati situasi yang berbahaya tersebut di tengah panas terik gurun pasir dan perjalanan yang melelahkan dengan sukses.

Meyakini bahwa Allah akan mengatur segalanya yang terbaik untuknya, akhirnya ia dan rombongannya tiba di Tanah Suci. Perjalanan selama lima bulan Churchward menuju ke Tanah Suci selesai sewaktui Churchward dan rombongannya menginjakkan kaki di Ka'bah, Rumah Allah.

Dan Mahmoud (Churchward) Mobarek adalah Muslim Inggris pertama yang naik haji dan melihat Ka'bah pada tahun 1910 dan sangat dihormati karena menjadi orang Inggris pertama yang menjadi tamu Allah

Mati Syahid dan Pemahaman Imporan

Kesukaan meniru atau ‘mengimpor’ sesuatu dari luar negeri mungkin sudah menjadi bawaan setiap bangsa dari negeri berkembang; bukan khas bangsa kita saja. Pokoknya asal datang dari luar negeri. Seolah-olah semua yang dari luar negeri pasti hebat. Tapi barangkali karena terlalu lama dijajah, bangsa kita rasanya memang keterlaluan bila meniru dari bangsa luar.

Sering hanya asal meniru; taklid buta, tanpa mempertimbangkan lebih jauh, termasuk kepatutannya dengan diri sendiri. Ingat, saat orang kita meniru mode pakaian, misalnya. Tidak peduli tubuh kerempeng atau gendut, pendek atau jangkung; semuanya memakai rok span atau celana cutbrai, meniru bintang atau peragawati luar negeri.

Pada waktu pak Harto dan orde barunya ingin membangun ekonomi, sepertinya juga asal meniru negara maju; tanpa melihat jatidiri bangsa ini sendiri yang pancasilais (Padahal waktu itu ada yang namanya P4). Maka, meski tanpa ‘kapital’, selama lebih 30 tahun negeri kita seperti negeri kapitalis dan akibatnya, bangsa kita pun bahkan sampai sekarang sulit untuk tidak disebut bangsa yang materialistis.

Nah, ketika ada tren baru dari luar negeri yang berkaitan dengan keagamaan pun banyak diantara kita yang taklid buta. Kalau taklid soal mode, madzhabnya Amerika dan Eropa; soal tari dan nyanyi banyak yang berkiblat ke India; maka dalam tren keagamaan ini, agaknya banyak yang bertaklid kepada madzhab Timur Tengah, Iran, atau Afghanistan.

Seperti pentaklidan tren baru dari luar negeri yang selalu dimulai dari kota dan baru kemudian menjalar ke desa-desa, demikian pula tren yang berkaitan dengan keagamaan ini. Seperti takjubnya sementara orang kota terhadap tren mode dari luar negeri --atau takjubnya sementara orang desa terhadap tren mode dari kota-- dan langsung mengikutinya, orang-orang Islam kota atau mereka yang punya persinggungan dengan luar negeri, agaknya juga banyak yang demikian. Mereka melihat dan takjub melihat keberagamaan yang dari luar negeri yang sama sekali lain dengan yang selama ini dianut orang-orang tua mereka disini. Maka, seperti halnya orang-orang yang mengikuti mode baru dari luar negeri, mereka ini pun bangga dengan model keberagamaan baru mereka. Termasuk kecenderungan merendahkan orang yang tidak mengikuti ‘tren baru’ mereka itu.

Karena taklid buta, karena asal meniru tanpa mempertimbangkan lebih jauh, sering kali lucu dan sekaligus memprihatinkan. Ambil contoh misalnya soal jihad. Ada beberapa orang yang hanya melihat perjuangan bangsa Palestina dan Afghanistan, misalnya, yang berjihad --seperti kita dulu ketika melawan kolonialis Belanda-- dengan segala cara; termasuk mengorbankan nyawa sendiri. Lalu mereka ikutan melawan musuhnya Palestina dan Afghanistan di sini dengan cara yang sama. Mereka lupa bahwa jihad seperti yang dilakukan dan diajarkan Rasulullah SAW ada aturan dan etikanya.

Orang Palestina yang melakukan bom bunuh diri untuk melawan kolonialis Israel, bila terbunuh bisa disebut syahid. Dalam hadis riwayat imam Ahmad dari Sa’ied Ibn Zaid, disebutkan bahwa orang yang terbunuh membela haknya atau keluarganya atau agamanya, adalah syahid. Orang yang mati syahid , seperti disebutkan dalam beberapa hadis, berhak mendapatkan enam anugerah: 1. Diampuni dosanya sejak tetes darahnya yang pertama; 2. Bisa melihat tempatnya di sorga; 3. Dihiasi dengan perhiasan iman; 4. Dikawinkan dengan bidadari; 5. Dijauhkan dari siksa kubur; 6. Dan aman dari kengerian Yaumil Faza’il akbar .

Tapi orang yang melakukan bom bunuh diri di Indonsia yang tidak sedang berperang melawan siapa-siapa dan mayoritas penduduknya beragama Islam, jelas namanya bunuh diri biasa yang dilarang oleh Allah SWT, ditambah tindakan kriminalitas luar biasa: membuat kerusakan. Banyak sekali ayat Al-Quran yang menunjukkan dilarangnya berbuat kerusakan di muka bumi. Dalam perang melawan orang-orang kafir sekali pun, ada batasan-batasannya; misalnya tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak, merusak lingkungan, dsb.

Allah berfirman: “Walaa taqtuluu anfusakum..” (Q. 4. An-Nisaa: 29). “Dan janganlah kamu membunuh dirimu..” Menurut para mufassir, larangan membunuh diri ini termasuk juga membunuh orang lain; karena membunuh orang lain termasuk membunuh diri sendiri, sebab umat merupakan satu kesatuan. Larangan ini sangat jelas sekali. Orang yang membunuh dirinya sendiri dan sekaligus orang-orang lain yang tidak berdosa, jelas sangat jauh untuk dapat disebut syahid? Sungguh keterlaluan mereka yang mencekokkan doktrin yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Apalagi hanya karena taklid buta terhadap tren dari luar negeri . Dan sungguh naïf mereka yang –mengaku umat Muhammad-- dengan mudah terpikat hanya oleh iming-iming bidadari, hingga mengabaikan akal sehat dan tega menghancurkan nilai agung kemanusiaan yang ditegakkan Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam.

Rabu, 02 Desember 2009

Fungsi manajemen

Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang industrialis Perancis bernama Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika itu, ia menyebutkan lima fungsi manajemen, yaitu merancang, mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan. Namun saat ini, kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi empat, yaitu:

  1. Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan.
  2. Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan mana keputusan harus diambil.
  3. Pengarahan (directing) adalah suatu tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha-usaha organisasi. Jadi actuating artinya adalah menggerakkan orang-orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan (leadership).
  4. Pengevaluasian (evaluating) adalah proses pengawasan dan pengendalian performa perusahaan untuk memastikan bahwa jalannya perusahaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Seorang manajer dituntut untuk menemukan masalah yang ada dalam operasional perusahaan, kemudian memecahkannya sebelum masalah itu menjadi semakin besar.

Manajemen

Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.

Jumat, 27 November 2009

Cassano Tak Mungkin Masuk "Gli Azurri"

Pelatih tim nasional Italia Marcello Lippi menegaskan, apa pun yang terjadi, selama ia menjadi nakhoda Italia, Antonio Cassano tak akan pernah masuk dalam skuadnya. Lippi siap menanggung risiko apa pun, termasuk bila kecaman publik Italia kepadanya semakin besar.

Gerakan mendukung Cassano masuk timnas mulai marak seusai penampilan buruk Italia di Piala Konfederasi 2009. Publik Italia menilai, sudah saatnya "Gli Azzurri" menyegarkan diri dengan pemain muda, terutama Cassano.Publik menilai, meski pernah menjadi anak manja, Cassano telah tumbuh menjadi pemain dewasa yang penuh tanggung jawab. Bahkan, tak sedikit pengamat sepak bola Italia menganggap Cassano adalah pemain Italia terbaik saat ini dan pantas diberi kesempatan tampil di Piala Dunia 2010. Uniknya, meski belakangan mengakui kualitas Cassano, Lippi tetap enggan memanggil Cassano.

"Saya minta maaf kepada Cassano karena ia orang yang baik. Namun, saya memiliki ide sendiri, sekalipun situasi luar biasa (pro-Cassano) telah diciptakan. Orang mengatakan saya keras kepala dan arogan. Kelemahan saya adalah koherensi," ujarnya.

"Pendukung dan surat kabar seperti partai politik. Mereka semua memiliki kandidat untuk 'La Nazionale'. Namun, saya mengikuti ide sendiri (meski berisiko) dan ketika saya tidak memberi penjelasan untuk mereka, itu karena saya yakin bahwa mereka bisa menciptakan polemik lebih besar," tandasnya.

Kakak Nadi

Jangan berbicara sembarangan di depan orang tua bijak. Walaupun diam, namun diamnya akan menjadi petaka bagi semua orang. Ketika dicaci maki orang tua bijak tidak akan pernah membalas dengan omelan, dia hanya akan menundukkan hati seolah pangkal kesalahan memang ada pada dirinya. Namun terus terang, tanpa dipinta pun Tuhan akan membela orang tua bijak itu.

Lahan pesawahan di sebelah Selatan kampung B kini mulai ramai dibeli oleh orang-orang kota. Ramai pula orang-orang kampung saling berbisik-bisik, bahwa harga jual tanah saat ini bisa dibilang cukup mahal. Permeter bisa laku sampai Rp. 500.000, tentu saja jika punya 1 are saja sudah bisa rehab rumah, selebihnya di tabung. Demi kenyataan itu, maka ramai-ramailah orang kampung menjual tanah mereka kepada orang kota. Yang diuntungkan sudah tentu calo tanah, hanya dengan modal omongan dan mengurus surat-surat tanah, mereka bisa mengambil lebih dari sepuluh persen harga penjualan. Tentu, keuntungan si calo sama sekali tidak diperhitungkan oleh orang-orang kampung karena uang sudah ditangan tanda besok lusa sebuah sepeda motor sudah siap dijalankan.

Lima bulan terakhir, sebuah villa pun berdiri di Selatan kampung B. Konon pemiliknya adalah gegeden, pejabat dari kota. Baiknya bukan main, dari wajahnya, ketika berpapasan dengan orang kampung, meskipun di jalan dia akan segera keluar dari dalam mobilnya, lantas menyapa orang-orang kampung sambil tidak tanggung-tanggung menyodorkan sebungkus rokok kepada mereka. Panggilan akrab orang -orang kampung kepada pejabat itu adalah Agan, kata paling padat dari Juragan.

Biasanya Agan, mengunjungi villa-nya setiap hari libur. Ilaharnya orang kota, dia biasa membawa kolega nya. Sebuah kolam kecil menjadi tujuan utama mereka. Mengail ikan, kalaupun dapat cukup banyak bisa lah dimasak beramai-ramai. Semua orang menyaksikan mereka, ibarat pertunjungan mancing di hari proklamasi, dan ketika mereka tertawa, orang-orang kampoung pun ikut tertawa. Seolah merasakan apa yang mereka rasakan.

Hadirnya kakek Nadi di kampung B hampir seumur dengan hengkangnya Jepang dari tanah Nusantara. Belum laik memang dipanggil orang tua bijak. Hanya saja, kearifan orang tua ini masih mendingan jika harus dibandingkan dengan si Mat Doblang tukang sabung ayam. Berdirinya sebuah sekolah agama pun adalah hasil dari obrolan kakek Nadi dengan orang-orang kampung di kedai Warko. Tidak heran, orangtua ini begitu dihormati di kampoungnya.

Keberadaan villa orang kota, sama sekali tidak diartikan sebuah sandungan bagi dirinya. Namun dia bisa membicarakan dengan bahasa sederhana, bahwa ini adalah sebuah kebisingan dalam hidup. Setiap sabtu dan Minggu bagi orangtua ini diartikan nada-nada sumbang.

Orang-orang kampung pernah berkata kepada kakek Nadi

” Kehadiran orang-orang kota telah menyulap masa depan kita. Pandangan kita semakin lebih terfokus pada masa depan… anak-anak kita sering berbisik, jika sudah besar nanti mereka ingin seperti pak Agan itu. Punya mobil, villa, istri sintal, dan kolega-kolega pejabat…!”

” Ya, lumrah memang. Tapi bagi kakek, kebisingan itulah yang sering mengganggu telinga ini..” Kata kakek Nadi sambil menunjuk telinganya,” Kalian tentu tahu, aku ini orangtua yang sangat kurang menyenangi hingar-bingar atau suara orang tertawa…”

Aneh memang, masa iya ada orang yang tidak suka mendengar orang tertawa.

Lambat laun Pak Agan pun tahu persis. Kalau di kampung B itu ada seorang kakek, terhormat, namun kurang suka terhadap kehadiran suara tawa dia dan kolega-koleganya. Sore ini, pak Agan mengirim satu bungkus pepes ikan mas kepada kakek Nadi.

” Aduh Agan… jangan berlebihan begini memperlakukan kakek…” Kata Kakek Nadi sambil mengambil bungkusan pepes ikan mas. Lantas mempersilahkan Agan masuk ke dalam rumahnya.

Pengakuan kakek Nadi memang polos. Ia meminta kepada Agan, bolehlah orang-orang kota itu mancing di kolam pak Agan, tapi usahakan suara tertawa itu dikecilkan sedikit. Pak Agan memang paham, kalau ucapan kakek Nadi memang seharusnya demikian. Artinya orang harus saling mengerti.

Pak Agan pun semakin sering mengirim pepes ikan mas kepada Kakek Nadi. Kepada orang-orang kampungpun semakin baik. Ada acara barjanzi, sholawatan, maulid, rajab, dan upacara-upacara adat, maka tampillah pak Agan sebagai donatur yang mendanai segala bentuk kegiatan itu.

Sampai pada akhirnya, Kakek Nadi berbisik kepada pak Agan.

” Aku akan menjual rumah dan dua petak sawah itu kepada, kamu, Agan…”

” Lho… kakek mau tinggal dimana nanti?”

” Aku akan pindah rumah. Sudah tidak tahan dengan bisingnya orang-orang kampung yang membicarakan kasus-kasus besar di Kota sana…!” Kata kakek nadi. ” Coba kau lihat, obrolan di kedai kopi lebih bermakna daripada mereka harus segera ke sawah, menggarap kebun, atau ke hutan mengambil kayu bakar. Omongan mereka dari hari ke hari semakin membuat telingaku pecah berkeping-keping. Terus terang, aku orangtua egois, namun kurang suka kebisingan… telinga tua ini harus dijaga menjelang ajal nanti..”

Rumah dan Sawah kakek Nad pun jadi juga dibeli oleh Pak Agan. Kakek nadi, kata orang-orang pergi ke kampung yang jauh dari keramaian. Kasus besar di Kota besar pun semakin meriah dibicarakan oleh orang-orang kampung. Mereka tidak sadar, tahu-tahu pak Agan telah mendirikan sebuah rumah besar di atas tanah yang di beli dari kakek Nadi. Mereka pun kurang sadar, tiba-tiba anak mereka harus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

” Ya, kita telah terbiasa dengan omong kosong ini… Pantas saja kakek Nadi kurang menyukai kebisingan…!” Kata Salah seorang pengunjung kedai Warko, lantas bergegas, pergi ke sawah sambil memanggul cangkul di pundak. Sementara lagu dangdut terngiang begitu jelas keluar dari radio butut kang Warko…

Pengagum Sang Maha Daya

Diorama alam memaksa kepenatan berlalu
Betapa indah Mahakarya Agung Sang Penguasa Waktu
Seketika menggulum deretan hampa di atas pasir, dengan hempasan ombak kasih di tepi pesisir…

Oh Tuhan s’gala tempat bersimpuh
Aku ini begitu rapuh
Melangkah dengan s”gala keterbatasan
Menatap dengan ketidaksempurnaan
Kendati begitu
Ku tau kasihMu menjangkau duniaku dan menjadikanku kuat dimataMu…

Oh Tuhan Sang Raja Semesta Alam
Aku ini begitu kecil
Mendengus kebesaran gelora cintaMu dengan daya seadanya
Mengucap syukur karena raga masih bernyawa
Namun pancaran sinar hangatu menysup tubuh, jiwa dan rohku hingga menjadikanku berharga dihadapMu

Di atas tebing batu
Kutancapkan harapan abadi Yang tak kan lekang dimakan waktu
Jadikanku biji bataMu
Menjangkau “goa-goa” yang t’lah lama tertutup batu
Menghempas lautan debu yg menyelimuti harapan baru
Menerobos sang lorong waktu ke segala penjuru

Disini ku berdiri
Menyadap kuasa Tuhan
Bukan karena kuat gagahku
Tapi oleh karena kehendakMU
Teguh melakukan perjuangan iman…walau harus berguling dihadapan para lawan
sampai titik darah penghabisan berlari sampai tujuan

Rabu, 18 November 2009

Kuyt: Italia Terkenal tapi Bermain Buruk

AMSTERDAM, KOMPAS.com — Striker Liverpool asal Belanda, Dirk Kuyt, mengecam aksi tekel keras yang dilakukan stopper Italia, Giorgio Chiellini, hingga membuat rekan setimnya, Robin van Persie, mengalami kerusakan pada jaringan pengikat sendi pergelangan kaki kanannya.

Secara implisit, ia juga mencibir "Gli Azzuri" sebagai timnas terkenal, tetapi bermain buruk dan tak bisa menghormati lawannya dalam suatu pertandingan.

"Aku sangat kecewa (kepada Italia). Kami bertanding dalam sebuah laga persahabatan melawan sebuah negara besar, Italia. Jika Anda melihat bagaimana mereka menendang kami, itu sangat keras, sangat keras bagi tim Belanda. Ini juga sangat keras untuk Robin karena ia sedang dalam penampilannya yang sangat baik," kecamnya.

"Aku pikir itu sebuah tekel yang sangat keras. Jika tampil dalam pertandingan persahabatan bersama negaramu, seharusnya saling menghormati satu sama lainnya. Kuharap, hal-hal seperti itu (tekel keras) tak akan terjadi lagi di masa datang," lanjutnya.

Pemain Belanda lainnya, Johnny Heitinga, juga ikut bersimpati kepada Robin van Persie. Defender Everton ini mengatakan, "Ini pukulan berat buat tim, tapi lebih berat lagi buat dia (Van Persie). Sebab, dia sedang bermain bagus dalam dua bulan terakhir dan dia merupakan salah satu pemain terbaik di Premier League. Aku berharap dia akan segera sembuh," harapnya. (SKY)

Milan Kejar Fabiano dan Hernanes

MILAN, Kompas.com - AC Milan tampaknya ingin menambah pemain Brasil di skuadnya. Dikabarkan, saat ini "Rossoneri" sedang mengincar dua pemain dari negeri Samba tersebut, yaitu striker Sevilla Luis Fabiano, serta pemain Sao Paulo, Hernanes.

Puntosport.net melaporkan, Milan berniat meminang lagi Fabiano, yang pernah "dilamar"nya pada musim lalu. Pelatih Leonardo mengatakan, dia belum menyerah mendapatkan striker tersebut yang sangat produktif bermain di Liga Spanyol.

Sebenarnya, pada awal musim ini Milan cukup gencar mengejar top skorer Sevilla tersebut, tetapi tak tercapai kata sepakat. Selain itu, keberhasilan Rossoneri mendapatkan striker Real Madrid Klaas-Jan Huntelaar, membuat niat untuk memburu Fabiano dihentikan.

Sayang, keputusan untuk membeli Huntelaar tidak terlalu tepat, karena performa striker asal Belanda tersebut tak kunjung membaik. Karena itu, mantan striker Ajax Amsterdam tersebut kemungkinan akan dilepas pada bursa transfer bulan Januari ini, sehingga tempatnya akan digantikan oleh Fabiano.

Meskipun demikian, harapan Milan untuk mendapatkan Fabiano masih mendapat sandungan. Agen sang pemain, Jose Fuentes mengklaim, kliennya tak akan meninggalkan Sevilla.

Jika gagal, Milan mengalihkan perhatiannya ke klub Brasil, Sao Paulo. Dikabarkan, Leonardo akan menggaet Hernanes, yang diplot untuk menggantikan peran Andrea Pirlo. Hanya saja, harga mungkin menjadi benturan untuk tercapai kesepakatan, karena Sao Paulo memasang banderol 30 juta euro (sekitar Rp 418,925 miliar). Namun media Italia melaporkan, Milan tetap berpeluang mendapatkan gelandang tersebut, karena Leonardo memiliki hubungan yang baik dengan klub itu. (GL)

Rabu, 11 November 2009

Produk Baru Bernama Bakti Ibu

Produk Baru Bernama Bakti Ibu
Rabu, 28 Oktober 2009

Mulai bulan Nopember 2009 Kospin Jasa membuka produk baru berupa Tabungan Bakti Ibu. Tabungan ini sengaja dibuka dengan segmen pasar adalah untuk para Ibu. Namun demikian siapapun tetap diperbolehkan untuk mengikuti program Tabungan Bakti Ibu. Adapun Tabungan ini mempunyai kelebihan antara lain, jumlah nomimal yang disetorkan ke Kospin Jasa sebesar Rp 50 ribu. Tabungan ini berbentuk seperti arisan selama jangka waktu dua tahun. Setiap bulannya dilakukan penyaringan hadiah. Bagi yang sudah mendapatkan tidak lagi setor uang ke tabungan. Serta banyak lagi hadiah untuk produk Tabungan Bakti Ibu dari Kospin Jasa.

Selain memperkenalkan Tabungan Bakti Ibu, Kospin Jasa dalam Pameran SAMPAN EXPO 2009 di GOR Jetayu juga memasarkan produk Gelegar Tabungan Koperasi (Takop) berhadian 3 buah mobil Avanza, 50 Sepeda Motor dan uang ratusan juta. Penyaringan tabungan ini dilakukan 4 bulan sekali atau dalam 1 periode,setiap penabung yang memiliki saldo minimal
Rp 100 ribu mendapatkan 1 poitn dan berlaku kelipatannya. Semakin banyak jumlah tabungan tentu kesempatan untuk mendapatkan Mobil Avanza kian besar.
Disamping itu, Kospin Jasa gencar pula mempromosikan tabungan Simpanan Keluarga Sejahtera (Sikesra). Dengan menabung sebanyak Rp 25 ribu sebulan selama dua tahun berkesempatan mendapatkan sebuah sepeda motor. Demikian diungkapkan Kasi Humas Noor Akwan didampingi Muhammad Luthfi selaku Koordinator Petugas Stand Kospin Jasa di arena SAMPAN EXPO 2009.