Selasa, 29 Desember 2009

Mengapa Noordin M Top Nge-Bom di Indonesia?

Itulah pertanyaan sebagian orang Indonesia di tengah memburuknya hubungan Indonesia-Malaysia akibat aksi klaim tari pendet oleh Malaysia. Sebagian orang Indonesia punya pendapat ekstrem, bahwa Noordin M Top adalah agen Malaysia yang sengaja disusupkan untuk membuat kekacauan di Indonesia.

Yaitu dengan melakukan serangkaian aksi pengeboman terutama di jantung-jantung dan fasilitas pariwisata Indonesia yang bertujuan menghancurkan citra Indonesia yang aman dan damai.

Tentu saja pendapat ekstrem ini dibantah tidak hanya oleh pemerintah Malaysia, tapi oleh kebanyakan orang Indonesia sendiri. Adalah sangat naif dan berisiko bila pemerintah Malaysia sengaja menyusupkan Noordin untuk membuat kekacauan di Indonesia. Lantas mengapa Noordin M. Top melakukan aksi pengeboman di Indonesia, bukan di Malaysia?

Jawabannya adalah, Pertama; Pemerintah Malaysia sedari awal bertindak tegas. Pada bulan Februari 2002, pemerintah Malaysia menutup Pesantren Lukmanul Hakiem yang didirikan Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar dan diduga menjadi markas Jamaah Islamiyah (JI) Asia Tenggara. Noordin pernah mengajar di pesantren ini. Pada bulan April 2002, pemerintah Malaysia menangkap sejumlah aktivis Kumpulan Militan Malaysia (KMM), sebuah organisasi yang diduga menjadi payung bagi para aktivis Islam alumni jihad Afghanistan.

Penangkapan para aktivis KMM tersebut dapat cepat dilakukan Malaysia karena pemerintah Malaysia menggunakan instrumen ISA (Internal Security Act) dimana pemerintah Malaysia dapat menangkap seseorang yang dituduh membahayakan keamanan negara tanpa proses hukum acara pidana. Sejak tahun 1960, ISA digunakan pemerintah Malaysia untuk menangkap sejumlah aktivis oposisi seperti Anwar Ibrahim dan sejak 2001 digunakan untuk menangkap sejumlah aktivis muslim terkait JI tanpa proses pengadilan. Sejak ditutupnya Pesantren Lukmanul Hakiem dan ditangkapnya sejumlah aktivis KMM, maka Noordin M Top dan Dr. Azahari melarikan diri ke Indonesia.

Kedua; Bumi Indonesia ternyata cukup subur bagi berkembangnya paham radikalisme Islam, sehingga Noordin dan Azahari segera menemukan “safe house” di sejumlah tempat di Indonesia dan bahkan bersama trio Imam Samudera, Amrozi dan Mukhlas berhasil meledakkan Bom di Bali, Oktober 2002. Sesudah Bom Bali I meletus, barulah pemerintah Indonesia bergerak untuk menangkap Ustadz Abu Bakar Baasyir (ABB) pengasuh Pesantren Ngruki Solo dengan tuduhan terkait JI dan rencana membunuh presiden Megawati dimana tuduhan tersebut tidak terbukti di pengadilan. ABB “hanya” divonis 2,6 tahun penjara sejak Maret 2005 dan bebas Juni 2006.

Sejumlah ulama dan tokoh Islam saat itu serentak membela ABB termasuk Syafii Maarif ketua umum PP Muhammadiyah yang mengatakan bahwa penangkapan ABB adalah “order” dari Amerika. Hanya Gus Dur yang tegas mengatakan bahwa penangkapan ABB tidak terkait teori konspirasi Amerika dan meminta polisi membuktikan tuduhan keterlibatan ABB dengan JI. Setelah merancang Bom Bali I, Noordin dan Azahari beserta jaringan terornya masih sempat meledakkan serangkaian bom di Hotel JW Marriot (Agustus 2003), Kedubes Australia (September 2004), Bom Bali II (Oktober 2005) dan Bom Marriot-Ritz Carlton (Juli 2009) serta rangkaian pemboman di daerah lainnya. Walaupun Dr. Azahari dan Noordin sudah tewas (November 2005 dan September 2009) oleh operasi kontrateroris Densus 88 Polisi, namun banyak pengamat meyakini bahwa sejumlah tersangka teroris yang menjadi DPO polisi seperti Syaifuddin Jaelani dan Syahrir akan mampu membangun kembali sel jaringan terornya mengingat cukup banyak kaum muslim di tanah air yang se-ide dengan mereka.

Suburnya bumi Indonesia bagi paham radikalisme Islam yang pada akhirnya banyak berujung pada aksi teror dan kekerasan disebabkan tumbuhnya atmosfer kebebasan berpendapat dan berorganisasi pasca reformasi 1998. Beberapa ideologi keagamaan radikal seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Salafi berkembang pesat di Indonesia dan bebas memprogandakan ideologinya sehingga mampu menarik simpati masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah perkotaan yang minim pengetahuan agama tapi semangat ke-Islamannya sedang tumbuh. Padahal, ideologi-ideologi tersebut justru dilarang di negara kelahirannya. Ikhwanul Muslimin sudah lama dilarang eksistensinya sejak tahun 1960-an karena terlibat rangkaian kekerasan dan teror akibat persaingan politknya dengan kelompok nasionalis sekuler di Mesir. Sementara Hizbut Tahrir yang mencita-citakan berdirinya khilafah islamiyah atau imperium Islam se-dunia tidak bisa bergerak bebas di Yordania, negara kelahirannya.

Tapi di Indonesia, Ikhwanul Muslimin –yang direpresentasikan oleh PKS- bisa bergerak bebas dan berkembang pesat dan bahkan mampu meraih suara 8% pada Pemilu 2009. Bahkan Hizbut Tahrir dapat dengan bebas menyelenggarakan Konferensi Khilafah di Gelora Bung Karno pada Agustus 2007 yang dihadiri lebih dari 100.000 massa simpatisannya. Sehingga, wajarlah bila bumi Indonesia sangat subur bagi aksi terorisme yang dilandasi paham radikalisme keagamaan mengingat iklim kebebasan politik sangat dijamin oleh pemerintah pasca tumbangnya Orde Baru. Di era Orde Baru, kita sulit membayangkan ideologi semacam Ikhwan dan HT dapat berkembang bebas.

Walhasil, iklim kebebasan di Indonesia –yang tidak ada di Malaysia- menyebabkan Indonesia menjadi tanah subur bagi berkembangnya paham radikalisme keagamaan yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya aksi-aksi terorisme. Mungkin, itulah alasan Noordin M. Top nge-bom di Indonesia seperti kata Bang Napi di sebuah stasiun TV, “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan”. Dan, kesempatan –untuk berbuat teror- terbuka luas di Indonesia. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar