Selasa, 29 Desember 2009

Mudik; Perspektif Wong Cilik

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhaiNya”(Q.S Al Fajr:27-28). Ketika memulai menulis tentang mudik, bayangan yang ada dalam benak saya bukan saja tentang sangat mahalnya tiket transportasi ke kampung halaman, jumlah THR yang mungkin akan diterima tahun ini, atau bayangan senyum bahagia Ibu Bapak melihat anaknya pulang dengan sehat dan selamat.

Lebih dari itu, saya teringat perbincangan elit tentang plot baru tatanan masyarakat global di “The Fairmont” San Fransisco yang diinisiasi oleh Michael Gorbachev pada September 1995. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh George Bush, Margareth Tatcher, Ted Turner (CNN), John Gage (Sun Microsistem) dan ratusan pemain kelas satu dunia dari berbagai latar belakang ini, mereka berkesimpulan bahwa struktur masyarakat masa depan yang akan terbangun adalah struktur 20:80 (Hans Peter Martin & Harald Schumann ; 1996).

Dalam perspektif struktur masyarakat 20:80 ini, kebutuhan seluruh dunia cukup hanya dengan melibatkan 20 % masyarakat saja. Atau dalam bahasa ekstrim, mereka hendak mengatakan bahwa dunia ini hanya untuk mereka yang masuk kategori 20 saja. Lalu bagaimana nasib masyarakat yang termasuk golongan 80 % itu?

Gagasan yang akhirnya diterima oleh peserta diskusi disampaikan oleh Haudegen Zbigniew Brzezinski, mantan penasehat keamanan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter. Brzezinski menyampaikan konsep tittytainment sebagai mekanisme untuk mengontrol perasaan frustasi masyarakat golongan 80 % sehingga tidak terjadi ledakan sosial, dengan menjamin tercukupinya kebutuhan dasar dalam hal sandang pangan dan hiburan yang murah meriah.

Fenomena itu, sekarang sudah terjadi. Faktanya, negara ini, dunia ini, hanya ditentukan oleh sebagian kecil golongan masyarakat elit saja. Sebagai argumentasi, di sektor finansial misalnya, peredaran modal dan kapital lebih besar terjadi di level taipan-konglomerat yang jumlahnya hanya puluhan jiwa, daripada peredaran modal dan kapital di level masyarakat kelas bawah yang jumlahnya puluhan juta jiwa. Ironis.

Dalam konteks ini, mudik merupakan perwujudan dari tittytainment, sebagai mekanisme bagi masyarakat kecil untuk sejenak terlepas dari tekanan dan menghibur diri dari kerasnya ritus kehidupan sehari-hari di Ibukota yang tidak mengenal belas kasihan sebagai representasi dari struktur sosial yang tidak berpihak kepada wong cilik.

Sayangnya, masyarakat kecil harus mengeluarkan pengorbanan ekstra dalam upaya memperoleh tittytainment tersebut, terutama dalam hal membengkaknya biaya transportasi.

Tidak seharusnya tarif transportasi pada waktu mudik ditentukan dengan pendekatan supply & demand semata, karena dalam titik tertentu, hal ini dapat membuat mekanisme tittytaintment tidak lagi efektif untuk menjaga harmoni sosial di masyarakat. Dalam konsep tittytaintment yang dikemukakan oleh Brezinzki golongan masyarakat kelas 20 yang seharusnya memberikannya secara cuma-cuma kepada golongan masyarakat kelas 80.

Atas dasar itu, saya merasa muak dengan prasangka negatif bahwa mudik dilakukan untuk pamer keberhasilan dan untuk menunjukkan status sosial kepada orang di kampung. Apanya yang layak dipamerkan dari masyarakat kelas 80 ?
Tetapi jika prasangka itu benar, saya lebih kasihan lagi kepada pemudik yang melakukannya, dengan pertanyaan besar, sebenarnya apa yang hendak dicari? Kepalsuan atau kepura-puraan untuk lebih menghibur diri?

Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang mudik yang beruntung. Ja’alanaLlahu Waiyyakum Minal ’Aidin Wal Faizin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar