Jumat, 27 November 2009

Kakak Nadi

Jangan berbicara sembarangan di depan orang tua bijak. Walaupun diam, namun diamnya akan menjadi petaka bagi semua orang. Ketika dicaci maki orang tua bijak tidak akan pernah membalas dengan omelan, dia hanya akan menundukkan hati seolah pangkal kesalahan memang ada pada dirinya. Namun terus terang, tanpa dipinta pun Tuhan akan membela orang tua bijak itu.

Lahan pesawahan di sebelah Selatan kampung B kini mulai ramai dibeli oleh orang-orang kota. Ramai pula orang-orang kampung saling berbisik-bisik, bahwa harga jual tanah saat ini bisa dibilang cukup mahal. Permeter bisa laku sampai Rp. 500.000, tentu saja jika punya 1 are saja sudah bisa rehab rumah, selebihnya di tabung. Demi kenyataan itu, maka ramai-ramailah orang kampung menjual tanah mereka kepada orang kota. Yang diuntungkan sudah tentu calo tanah, hanya dengan modal omongan dan mengurus surat-surat tanah, mereka bisa mengambil lebih dari sepuluh persen harga penjualan. Tentu, keuntungan si calo sama sekali tidak diperhitungkan oleh orang-orang kampung karena uang sudah ditangan tanda besok lusa sebuah sepeda motor sudah siap dijalankan.

Lima bulan terakhir, sebuah villa pun berdiri di Selatan kampung B. Konon pemiliknya adalah gegeden, pejabat dari kota. Baiknya bukan main, dari wajahnya, ketika berpapasan dengan orang kampung, meskipun di jalan dia akan segera keluar dari dalam mobilnya, lantas menyapa orang-orang kampung sambil tidak tanggung-tanggung menyodorkan sebungkus rokok kepada mereka. Panggilan akrab orang -orang kampung kepada pejabat itu adalah Agan, kata paling padat dari Juragan.

Biasanya Agan, mengunjungi villa-nya setiap hari libur. Ilaharnya orang kota, dia biasa membawa kolega nya. Sebuah kolam kecil menjadi tujuan utama mereka. Mengail ikan, kalaupun dapat cukup banyak bisa lah dimasak beramai-ramai. Semua orang menyaksikan mereka, ibarat pertunjungan mancing di hari proklamasi, dan ketika mereka tertawa, orang-orang kampoung pun ikut tertawa. Seolah merasakan apa yang mereka rasakan.

Hadirnya kakek Nadi di kampung B hampir seumur dengan hengkangnya Jepang dari tanah Nusantara. Belum laik memang dipanggil orang tua bijak. Hanya saja, kearifan orang tua ini masih mendingan jika harus dibandingkan dengan si Mat Doblang tukang sabung ayam. Berdirinya sebuah sekolah agama pun adalah hasil dari obrolan kakek Nadi dengan orang-orang kampung di kedai Warko. Tidak heran, orangtua ini begitu dihormati di kampoungnya.

Keberadaan villa orang kota, sama sekali tidak diartikan sebuah sandungan bagi dirinya. Namun dia bisa membicarakan dengan bahasa sederhana, bahwa ini adalah sebuah kebisingan dalam hidup. Setiap sabtu dan Minggu bagi orangtua ini diartikan nada-nada sumbang.

Orang-orang kampung pernah berkata kepada kakek Nadi

” Kehadiran orang-orang kota telah menyulap masa depan kita. Pandangan kita semakin lebih terfokus pada masa depan… anak-anak kita sering berbisik, jika sudah besar nanti mereka ingin seperti pak Agan itu. Punya mobil, villa, istri sintal, dan kolega-kolega pejabat…!”

” Ya, lumrah memang. Tapi bagi kakek, kebisingan itulah yang sering mengganggu telinga ini..” Kata kakek Nadi sambil menunjuk telinganya,” Kalian tentu tahu, aku ini orangtua yang sangat kurang menyenangi hingar-bingar atau suara orang tertawa…”

Aneh memang, masa iya ada orang yang tidak suka mendengar orang tertawa.

Lambat laun Pak Agan pun tahu persis. Kalau di kampung B itu ada seorang kakek, terhormat, namun kurang suka terhadap kehadiran suara tawa dia dan kolega-koleganya. Sore ini, pak Agan mengirim satu bungkus pepes ikan mas kepada kakek Nadi.

” Aduh Agan… jangan berlebihan begini memperlakukan kakek…” Kata Kakek Nadi sambil mengambil bungkusan pepes ikan mas. Lantas mempersilahkan Agan masuk ke dalam rumahnya.

Pengakuan kakek Nadi memang polos. Ia meminta kepada Agan, bolehlah orang-orang kota itu mancing di kolam pak Agan, tapi usahakan suara tertawa itu dikecilkan sedikit. Pak Agan memang paham, kalau ucapan kakek Nadi memang seharusnya demikian. Artinya orang harus saling mengerti.

Pak Agan pun semakin sering mengirim pepes ikan mas kepada Kakek Nadi. Kepada orang-orang kampungpun semakin baik. Ada acara barjanzi, sholawatan, maulid, rajab, dan upacara-upacara adat, maka tampillah pak Agan sebagai donatur yang mendanai segala bentuk kegiatan itu.

Sampai pada akhirnya, Kakek Nadi berbisik kepada pak Agan.

” Aku akan menjual rumah dan dua petak sawah itu kepada, kamu, Agan…”

” Lho… kakek mau tinggal dimana nanti?”

” Aku akan pindah rumah. Sudah tidak tahan dengan bisingnya orang-orang kampung yang membicarakan kasus-kasus besar di Kota sana…!” Kata kakek nadi. ” Coba kau lihat, obrolan di kedai kopi lebih bermakna daripada mereka harus segera ke sawah, menggarap kebun, atau ke hutan mengambil kayu bakar. Omongan mereka dari hari ke hari semakin membuat telingaku pecah berkeping-keping. Terus terang, aku orangtua egois, namun kurang suka kebisingan… telinga tua ini harus dijaga menjelang ajal nanti..”

Rumah dan Sawah kakek Nad pun jadi juga dibeli oleh Pak Agan. Kakek nadi, kata orang-orang pergi ke kampung yang jauh dari keramaian. Kasus besar di Kota besar pun semakin meriah dibicarakan oleh orang-orang kampung. Mereka tidak sadar, tahu-tahu pak Agan telah mendirikan sebuah rumah besar di atas tanah yang di beli dari kakek Nadi. Mereka pun kurang sadar, tiba-tiba anak mereka harus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

” Ya, kita telah terbiasa dengan omong kosong ini… Pantas saja kakek Nadi kurang menyukai kebisingan…!” Kata Salah seorang pengunjung kedai Warko, lantas bergegas, pergi ke sawah sambil memanggul cangkul di pundak. Sementara lagu dangdut terngiang begitu jelas keluar dari radio butut kang Warko…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar